logo
×

Minggu, 23 Februari 2020

Bisnis Dasun Dalam Lingkaran Setan

Bisnis Dasun Dalam Lingkaran Setan

Oleh: Henyk Nur Widaryanti S. Si., M. Si.

Rumah mana yang tak dimasuki dasun? Sebuah tanaman hortikultura kecil, mungil, putih dan mulus ini. Ya, tanaman yang sempat satu siungnya seharga Rp5.000,- ini menjadi perbincangan dalam kantor-kantor pemerintahan. Namanya naik daun, mengikuti tubuhnya yang sering naik kapal dari negeri orang. Tanaman yang tenar dengan nama bawang putih ini, kini harus menghadapi perihnya kehidupan era kapital.

Sebagaimana sempat diberitakan, harga bawang putih melejit hingga  Rp55.000,- /kg (Batampos,17/2/20). Sudah dipastikan ibu-ibu rumah tangga mengeluh dalam kondisi seperti ini. Kenaikan ini sebenarnya bukan kali pertama. Pada bulan April tahun lalu, harga bawang putih juga pada kisaran hingga Rp48.000,-. Kenaikan seakan berulang di awal tahun. Apa sebenarnya yang terjadi?

Menurut seorang pedagang di Pasar Induk Kramatjati, Anas Sarnil saat diwawancara oleh tempo (7/2/20), di kiosnya hanya ada 100 karung bawang putih. Padahal biasanya kios berukuran 9 meter persegi itu penuh dengan karung bawang putih. Ia menambahkan,  sebelum bulan Februari para importir selalu mengejar-ngejar menawarkan barang. Namun, justru kini sebaliknya.

Menurutnya, kondisi ini bisa jadi karena ada penahanan barang dari pihak importir. Karena para importir pernah menyampaikan jika Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk tahun 2020 belum turun hingga Januari 2020. Gelagat ini mulai terlihat sejak tahun lalu. Karena, kasusnya juga sama. RIPH baru turun di bulan Maret.

Dasun impor vs lokal

Secara umum, dasun hidup di daerah subtropis. Sedangkan Indonesia adalah negara tropis. Jika dilihat dari ketidakcocokan iklim, maka si dasun tak dapat ditanam di sini. Kalaupun bisa, hasilnya tak maksimal. Masih dari tempo, menurut Amran, Menteri Pertanian di tahun 2014-2019 produksi dasun lokal hanya memenuhi 4% dari kebutuhan total. Sehingga, untuk menutupi kekurangan diadakan impor.

Meskipun demikian, Beliau berangan-angan mencanangkan swasembada dasun di tahun 2021. Oleh karena itu, diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang RIPH. Isi dari Permen ini mengatur kebijakan mengeluarkan RIPH. Salah satunya memberikan syarat bagi importir untuk menanam dasun sebesar 5% dari kuota pengajuan impor.

Namun, jauh panggang dari api. Hingga saat ini usaha itu tak membuahkan hasil. Dari data Kementerian Pertanian, hampir separo pengusaha importir malah masuk dalam daftar hitam. Mereka tak mampu memenuhi syarat wajib tanam dasun 5%. Malah lebih parah lagi, pada 20/1 lalu saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Nusantara, Mulyadi menyampaikan angkat tangan untuk menanam dasun. Ia beralasan karena tak ada kemampuan membudidayakan.

Sistem impor yang kotor

Susahnya mendapatkan Surat Perizinan Impor (SPI) membuat para importir berulah. Sebagaimana yang disyaratkan, jika importir tidak mampu memenuhi wajib tanam 5% maka ia tidak akan mendapat RIPH. Namun, pada kenyataanya justru sebaliknya.

Dari hasil blusukan tempo, diperoleh fakta bahwa ada 73 importir dasun. Separuhnya sudah masuk dalam daftar hitam. Artinya tak mereka tak dipastikan tak akan mendapat RIPH tahun berikutnya. Namun, dari pengajuan impor tahun 2018 ada sekitar 62% perusahaan yang memiliki nama baru. Fenomena ini bertambah di tahun berikutnya menjadi 88%. Padahal kalau mengikuti aturan Permen, banyak perusahaan yang sudah tidak boleh impor lagi. Setelah dilakukan penelusuran oleh tempo, perusahan-perusahaan baru tersebut adalah perusahaan lama yang diubah namanya saja. Pemiliknya tetap.

Cara seperti itu dilakukan agar para importir tetap bisa mengimpor di tahun berikutnya. Toh dari pihak pemerintah tidak meneliti hingga detail apakah perusahaan itu benar baru atau perusahaan lama yang berganti nama saja. Sudah menjadi rahasia umum dan akal-akalan seperti ini tak bisa ditindak karena tak ada payung hukum penindakannya.

Tak hanya itu, tempo pun menemukan fakta mencengangkan. Dari pengakuan importir ada transaksi jual beli izin SPI saat itu. Agar SPI bisa mulus dikeluarkan perlu uang pelicin. Bagi yang tak memberi, alamat SPI ditunda atau malah tidak dikeluarkan.

Tata kelola yang semrawut

Secara umum target Menteri Pertanian Swasembada dasun memang perlu diacungi jempol. Tapi tata kelola perizinan, pengawasan serta pendistribusian yang tak tepat membuat ruwet pelaksanaan. Ditambah lagi ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan momen seperti ini. Mereka mencari untung di celah selembar kertas kebijakan.

Ini masalah krusial. Perlu adanya tindakan tegas. Jika dibiarkan, rakyatlah yang akan menanggung kerugiannya. Siapa yang diuntungkan? Tentunya para importir akan tetap untung dan orang-orang yang memanfaatkan uang pelicin juga untung. Sedangkan rakyat hanya menjadi buntung.

Meluruskan kesemrawutan 

Masalah target swasembada perlu adanya pengkajian. Bukan sekadar perintah tanam kasih uang. Tapi perlu penelitian. Kita punya Institut Pertanian Bogor (IPB), harusnya bisa dimanfaatkan untuk menemukan teknik penanaman budi daya dasun. Hasilnya bisa dipraktikkan di kalangan petani. Dengan subsidi biaya dari pemerintah.

Bagaimana dengan importir? Tentunya, bagi importir tak bisa dibiarkan bebas lepas. Perlu ada kebijakan untuk mengatur regulasi impor. Dan ada penentuan kebijakan yang membuat pengusaha impor patuh. Tentunya dengan tidak membuat mereka susah menjalankan dan mengalami kerugian. Selain itu diperlukan pula pengawasan yang teliti. Agar tidak ada importir atau distributor nakal dengan sengaja menimbun dasun.

Oleh karena itu diperlukan aturan yang komplek. Baik dari perdagangan, pertanian, serta alur distribusi. Mereka yang mencari manfaat lain (menarik uang pelicin) perlu investigasi dan ditindak secara tegas.

Kondisi ini akan lebih mendukung lagi jika semua dilakukan dengan niatan ibadah. Bagi pemegang kebijakan meniatkannya untuk mengurusi kebutuhan rakyat. Sehingga dengan benteng iman mereka tak akan berani berbuat curang.

Begitu pula dengan importir, dengan dorongan iman mereka  tak akan berani meraup untung di atas penderitaan rakyat. Semua saling bersinergi mendukung kebutuhan rakyat. Inilah sistem dambaan yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah ini. Alangkah menyenangkan jika sistem seperti ini ada. Bagaimana jika sistem seperti ini didasari dengan iman dan Islam? Wallahu 'alam bishowab.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: