logo
×

Minggu, 23 Februari 2020

Impor Bawang Putih dan Ilusi Swasembada

Impor Bawang Putih dan Ilusi Swasembada

Oleh: Djumriah Lina Johan, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam.

Awal pekan ini komoditas pangan bawang putih menjadi sorotan. Pasalnya, harganya sempat mengalami lonjakan hingga Rp14.150 sehingga bawang putih pada Senin (10/2/2020) dibanderol dengan harga Rp70.108 per kilogramnya. Hal ini tentu ditanggapi serius oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo karena bawang putih adalah salah satu kebutuhan pangan terpenting bagi masyarakat Indonesia. Penyebab kenaikkan harga bawang putih ini diketahui masih disebabkan oleh virus mematikan corona dan proses distribusi yang terhambat.

Pada Minggu (16/2/2020), Okezone merangkum fakta terkait kenaikan harga bawang putih. Pertama, corona masih jadi penyebab. Virus corona yang baru dinamakan Covid-19 ternyata masih menjadi penyebab melambungnya harga bawang putih. China adalah pengimpor utama bawang putih untuk Indonesia. Kedua, cari alternatif impor. Solusinya mencari alternatif impor bawang putih selain dari China.

Ketiga, distrusi terhambat. Juru bicara Satgas Pemberantasan Mafia Pangan di Solo, AKBP Iwan Saktiadi mengatakan pihaknya masih menelusuri penyebab meroketnya harga bawang putih impor dari China. Dia menilai distribusi yang terhambat bisa jadi salah satu penyebabnya. Keempat, India atau Amerika jadi alternatif impor bawang putih. Sementara itu Syahrul Yasin mengungkap India dan Amerika Serikat dapat menjadi alternatif impor menggantikan China yang sedang dilanda virus Covid-19. Kelima, stok bawang putih 2-3 bulan aman. (Okezone.com, Minggu, 16/2/2020).
Dikutip dari Suara.com, pada Kamis (10/10/2019) di Indonesia bawang putih memang terbilang langka. Faktor geografis membuat sayuran berwarna putih itu sedikit sulit diproduksi di seluruh Indonesia. Tercatat, dalam rentang waktu 2013-2017 hanya NTB, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang menduduki kasta teratas dalam urusan produksi Bawang Putih. Walaupun demikian produksi yang dihasilkan sangat jauh dari harapan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2017 produksi bawang putih Indonesia sebanyak 19.150 ton dari lahan seluas 2148 Ha itupun mengalami penurunan sebesar 7,75% dari 2016 yang menghasilkan 21.150 ton. Jelas, sangat kewalahan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang mencapai 400 ribuan ton/tahun. Ya, hanya memenuhi 1/30 nya saja dari total konsumsi. Padahal pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan swasembada bawang putih pada tahun 2021.

Dengan kondisi seperti ini, Indonesia terpaksa doyan melakukan kegiatan impor setiap tahun. Bawang putih menjadi komoditi yang rutin menguasai impor pada tanaman hortikultura Indonesia. Dalam rentang 2013-2018 rata-rata volume impor bawang putih mencapai 501.944,5 ton/tahun dan memiliki tren naik setiap tahunnya. Puncaknya volume impor tertinggi pada tahun 2018 yang tercatat 582.995 ton. Bahkan, dari seluruh stok bawang putih yang ada pada tahun 2018 sebanyak 93,68% di antaranya diperoleh dari impor.

Indonesia mendapat julukan raja impor bawang putih. Tidak berlebihan jika Indonesia disebut demikian karena pada realitanya Indonesia merupakan negara dengan volume impor bawang putih terbesar di dunia menurut data UN Comtrade.. Sangat berbeda jauh dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Filipina yang berada di urutan ke-2 dan ke-3 dengan masing-masing 74,986 dan 74,697 ton. Pada tahun 2018, UN Comtrade merekam China menjadi negara penyuplai bawang putih terbesar bagi Indonesia. Sebanyak 580.845 ton atau 99,6% bawang merah dikirim dari negara yang berjuluk tirai bambu tersebut. Sisanya berasal dari India yang menyuplai 464 ton, kemudian negara Asia lainnya sebesar 1684 ton.
Berdasarkan fakta di atas, ada dua masalah yang dihadapi negeri ini berkaitan dengan bawang putih. Pertama, harga bawang putih yang melonjak naik. Kedua, realisasi swasembada bawang putih. Untuk menjawab kedua masalah ini, maka butuh untuk mengurai benang kusut tersebut agar mampu berpikir jernih melihat sumber masalah bawang putih.

Masalah pertama dapat dianalisa sebagai berikut :

Pertama, akibat virus corona. China merupakan pengimpor utama bawang putih bagi Indonesia. Sehingga ketika produktivitas China menurun dampak dari wabah virus corona. Maka Indonesia juga akan merasakan efeknya. Selain itu, adanya kebijakan pencegahan impor sementara, demi menjaga agar virus corona tidak masuk dan menyerang rakyat negeri ini. Walhasil, harga bawang putih pun melambung tinggi.

Kedua, karena ada permainan harga. Di sinilah peran mafia pangan, penimbunan, dan lain-lain. Sehingga bawang putih yang sebenarnya murah menjadi mahal tak terkira.

Untuk masalah kedua, setidaknya ada empat poin yang bisa dianalisa :

Pertama, minimnya upaya Pemerintah untuk mewujudkan swasembada bawang putih. Hal ini terlihat dari realitas kebijakan Pemerintah yang justru tidak berpihak kepada petani, salah satunya adanya wacana dan desakan pencabutan subsidi pupuk. Selain itu, jika memang terbukti secara faktor geografis sedikit sulit untuk memproduksi bawang putih. Maka apa gunanya lulusan IPB (Institut Pertanian Bogor) dan kampus sejenis jika bukan untuk menjadi problem solver masalah pertanian dalam negeri? Sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk mendanai program-program, penelitian, riset, serta percobaan untuk dapat menyelesaikan problematika bawang putih.

Kedua, Indonesia sebagai negara candu impor. Alih-alih mewujudkan swasembada bawang putih, Pemerintah malah menceburkan diri ke jurang bernama impor. Terlihat jelas bahwa janji-janji swasembada hanyalah politik pencitraan rezim. Candu impor tersebut tentu saja merupakan lahan subur bagi penguasa dan pengusaha yang tamak untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Ketiga, negara berperan sebagai regulator. Sulitnya merealisasikan swasembada bawang putih tak terlepas dari peran negara yang hanya sebagai regulator bukan pengatur dan pelayan urusan umat. Walhasil, rakyat berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bawang mahal, beli sedikit. Bawang mahal, siapa suruh beli. Bawang mahal, tanam sendiri. Maka pantaslah jika negara ini disebut sebagai negara kapitalis.

Keempat, buah penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme hanya memiliki satu tolok ukur, yakni materi. Sehingga setiap perbuatan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa didasari perhitungan untung rugi materi. Alhasil, wajar jika kebijakan penguasa lebih pro kepada pengusaha dibanding pada rakyatnya sendiri. Inilah wajah asli kapitalisme yang diagung-agungkan negara-negara maju.

Dengan demikian, permasalahan satu dan dua hanya bisa diselesaikan dengan mencabut sistem kapitalisme dari akar-akarnya. Agar negara ini mampu berdaulat, berdikari, serta mampu swasembada bawang putih maupun pangan yang lain. Tentu hal itu hanya bisa terwujud apabila negara ini merujuk dan berhukum kepada hukum Islam yang berasal dari Sang Khaliq, Allah SWT. Tanpanya, swasembada bawang putih hanyalah ilusi.

Wallahu a’lam bish shawab.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: