logo
×

Kamis, 27 Februari 2020

Karena Disrupsi, Pengangguran Membumbung Tinggi

Karena Disrupsi, Pengangguran Membumbung Tinggi

Oleh: Ari Nurainun, SE (Pemerhati Sosial dan Politik)

Era Disrupsi tiba. Setelah sebelumnya, masyarakat disihir dengan kecanggihan RI 4.0, dan segala candu yang membuat kehidupan terasa lebih “hidup” di era digital, kini rakyat terpaksa menelan pil pahit. Disrupsi ternyata bermakna menggantikan “pasar lama” industri dan teknologi untuk menghasilkan kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Sehingga ia bisa bersifat destruktif dan kreatif. Menggantikan pasar lama tidak hanya menggeser model penjualan dari offline menjadi online. Namun juga mengganti tenaga manusia menjadi serba digital dengan label restrukturisasi dan efisiensi perusahaan. Artinya, akan terjadi badai PHK  di era disrupsi.

Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mencatat, digitalisasi menjadi salah satu dari 3 persoalan utama  di bidang ketenagakerjaan. Jika tidak diantisipasi dengan tepat,  akan berimplikasi pada instabilitas di bidang sosial, ekonomi bahkan berpotensi menimbulkan gejolak keamanan. KSBI juga  memprediksi lebih kurang 500 ribu Tenaga Kerja telah kehilangan pekerjaannya di tahun 2019."Pada 2020, diprediksi akan meningkat apabila pemerintah tidak punya top skenario mengantisipasi gelombang PHK tersebut,"  ujar Ketua Departemen Lobby & Humas KSBSI Andy William Sinaga dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (31/12/2019).(liputan6.com)

Provider Telekomunikasi Indosat Ooredo adalah satu korban disrupsi. Indosat resmi melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap lebih dari 500 pegawainya. Mereka mengklaim, PHK dilakukan guna meningkatkan kinerja perusahaan ke depan di tengah tantangan disrupsi hingga optimalisasi layanan.

Pengamat telekomunikasi Nonot Harsono menilai PHK massal yang dilakukan oleh Indosat akibat pergeseran pelaku industri telekomunikasi. Dia berkata Indosat sebagai perusahaan penyediaan jaringan sudah tidak berjaya seperti sebelum 2010.

"Yang terjadi di dunia telekomunikasi itu kan terjadi pergeseran pelaku industri. Dulu sampai 2010, pemilik jaringan berjaya," ujar Nonot, Senin (17/2/2020) (CNNIndonesia.com) Nonot menuturkan industri telekomunikasi saat ini dikuasai oleh aplikasi, seperti Facebook, Twitter, hingga Google. Sedangkan peminat jaringan operator di Indonesia hanya segelintir perusahaan yang juga kian kalah dalam persaingan harga.

Selain Indosat, beberapa perusahaan lain juga mengalami hal yang sama. Bukalapak perusahaan yang sudah menjadi unicorn juga melakukan PHK. Langkah ini dianggap sebagai upaya restrukturisasi di internal perusahaan."Sebagai perusahaan dengan jumlah karyawan total 2.500-an, kami menata diri secara terbatas dan selektif untuk bisa mewujudkan visi kami sebagai sustainable e-commerce," sebut juru bicara manajemen Bukalapak.(detikfinance)

Disrupsi dan Antisipasi
Sebuah studi yang dilakukan oleh Oxford University di tahun 2019 menemukan, 45 % pekerjaan sekarang bisa hilang pada beberapa tahun mendatang. Bahkan sejumlah pekerjaan tertentu sepenuhnya akan bersifat otomatis, sehingga kebutuhan sunber daya manusia akan berkurang, Digantikan oleh aplikasi. Artinya , jika tidak ditangani dengan tepat, disrupsi akan menjadikan bonus demografi sebagai beban Negara. Sempitnya lapangan pekerjaan menyebabkan tingginya daya saing, yang ujungnya menyebabkan tingginya tingkat pengangguran.

Kecanggihan teknologi sudah seharusnya didedikasikan untuk kepentingan manusia sebagai khilafatul fir ardh. Namun, hari ini kita justru melihat, disrupsi menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Hal ini terjadi, dikarenakan lemahnya perlidungan Penguasa terhadap warganegaranya.Meskipun para pakar telah memberikan berbagai masukan bagi pemerintah untuk menghindari dampak negative disrupsi, tetap tak akan mampu menyelamatkan penduduk negeri ini dari gelombang kehancuran, jika paradigma re-inverting government masih menjadi pijakannya. Disrupsi butuh lebih dari sekedar antisipasi.

Antisipasi Disrupsi, Butuh Perubahan Paradigma 

Dunia kini bagaikan hutan belantara. Hukum rimba berlaku di dalamnya. Yang kuat akan tetap bertahan, sementara yang lemah berangsur-angsur lenyap di telan kemajuan zaman. Inilah realisasi konsep re-inverting government, mendudukan penguasa hanya sebagai wasit dari ring tinju dunia. Meski rakyat jelata babak belur “dihajar” perusahaan aplikasi, bahkan hingga akhirnya terkapar dalam pertandingan, wasit hanya akan memastikan pertandingan berjalan mulus hingga di menit akhir. Sungguh terlalu!Maka, dititik inilah perubahan itu harus dimulai. Membangun sebuah paradigma berfikir yang baru. Dari hanya sekedar menjadi wasit, menjadi pelindung.

Islam tak pernah menolak kemajuan teknologi. Bahkan, dalam masa keemasaanya, Negara Khilafah menjadi yang terdepan dalam teknologi. Dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, disebutkan kitab Hila Bani Musa sebagai sebuah kitab yang menakjubkan. Kitab yang dikarang oleh Musa bersaudara ini memuat seratus susunan mekanik disertai penjelasan rinci tentang gambar yang jelas serta cara menyusun dan mempergunakannya. Bani Musa telah menggunakan mesin yang bekerja secara terus-menerus. Dan temuan mereka , menjadi temuan yang terpenting sepanjang sejarah. Bahkan eropa baru menggunakannya 150 tahun kemudian.

Namun, Negara haruslah mendudukan teknologi sesuai porsinya. Artinya, tidak semua kemajuan teknologi diadopsi secara serampangan. Haruslah tepat guna dan tepat sasaran. Kebijakan Negara haruslah berpijak pada aspek ruhiyah. Artinya, teknologi haruslah diperuntukkan sebagai sarana yang memudahkan manusia dan menjadikannya ibadusholihin. Sehingga, meskipun digitalisasi menjadi trend global, Khilafah akan membuat regulasi yang kelas. Berbagai aplikasi akan diatur sesuai kebutuhan. Sehingga tak menjadi momok dikemudian hari. Dalam dunia pendidikan misalnya, tradisi keilmuan Islam akan tetap dipertahankan. Semisal, mendatangi majelis ilmu, adab terhadap guru, dan yang semisal, tak kan tergantikan dengan aplikasi. Bahkan Khilafah memberikan perhatian besar di bidang ini. Begitupun dalam masalah kesehatan, Negara tetap akan menjadikan kesehatan menjadi hak seluruh warga Negara, dengan pelayanan yang prima. Ada hak sesama muslim disana. Mengunjungi dan mendoakan saudaranya yang sakit, menghibur orang yang sakit, tak kan bisa tergantikan dengan layanan Artificial Intelegencia. Begitu juga di aspek-aspek kehidupan yang lain. Sehingga jumlah penduduk yang besar adalah potensi bagi Negara Khilafah, bukan beban. Khilafah juga tak akan pernah kehabisan cara untuk menghidupkan perekonomian, meningkatkan kesejahteraan dan kualitas penduduknya.

Wallahu a'lam bi showwab
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: