logo
×

Senin, 03 Februari 2020

Sebut Kekuasaan Sudah Mulai Keropos, Rocky Gerung: Saatnya Memindahkan Kepala Negara, Bukan Ibu Kota

Sebut Kekuasaan Sudah Mulai Keropos, Rocky Gerung: Saatnya Memindahkan Kepala Negara, Bukan Ibu Kota

DEMOKRASI.CO.ID - Sebut kekuasaan sudah mulai keropos, Rocky Gerung mengatakan seharusnya yang dipindah bukan ibu kota, tapi kepala negaranya.

Kasus yang menimpa mantan Calon Legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Harun Masiku saat ini masih jadi perbincangan sejumlah figur publik.

Salah satunya adalah pengamat politik Rocky Gerung.

Ia mengatakan bahwa kasus Harun Masiku ini merupakan 'permainan' dari para penguasa negeri.

"Permainan semacam ini dengan mudah dibongkar karena logika pembelaannya compang-camping," ujarnya.

Dia juga mengatakan bahwa sebenarnya publik sudah membaca permainan tersebut.

Rocky juga mengungkapkan bahwa pada akhirnya publik jadi lebih percaya Tempo, salah satu media yang membongkar soal keberadaan Harun Masiku, daripada Hasto Kristiyanto, Yasonna Laoly, maupun Jokowi.

"Jadi pada akhirnya publik tahu kalau semua kekuasaan itu gak bisa dipercaya. 'Kan cuma itu pelajaran bagus yang kita peroleh," ujarnya.

"Jadi delegitimasi itu berjalan terus karena ketidakmampuan kekuasaan bersikap jujur terhadap peristiwa itu," imbuhnya.

Rocky menambahkan bahwa selama pemerintahan Jokowi, keadilan itu bukan konsepsi etis lagi melainkan instruksi kekuasaan.

"Jadi kalau terjadi hal semacam itu, orang mau cari keadilan tapi menunggu perintah politik, itu tanda pertama bahwa ada yang decay (membusuk) dalam kekuasaan," jelas Rocky.

Ia menjelaskan, publik menganggap bahwa terlalu banyak kebohongan di pemerintahan.

Setelah itu, lanjutnya, orang akan mengaitkannya dengan perolehan suara waktu pemilu.

"Itu gak bisa dicegah, karena tidak ada cara lain untuk mengatakan bahwa kekuasaan ini sudah keropos," tegasnya.

"Jadi saatnya memang, bukan memindahkan ibu kota, tapi memindahkan kepala negara ke tempat seperti suaka politik sebentar, supaya dia bisa mengambil jarak dengan kelompok koalisinya," ungkap Rocky.

"Mudah-mudahan Presiden bisa tahu bahwa dia sebetulnya dikendalikan oleh berbagai macam kepentingan," ujarnya.

Seperti diketahui, saat ini Harun sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia diduga memberi suap pada Wahyu perihal kepentingan dalam pergantian antarwaktu (PAW) mengenai anggota DPR dari PDIP yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas.

Kasusnya semakin memanas setelah Harun menjadi buron akibat kabur tak terlacak ke Singapura pada 6 Januari 2020 silam.

Tepatnya dua hari sebelum KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Wahyu.

Hal itu pertama kali dinyatakan oleh Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham Arvin Gumilang.

“Iya, tercatat dalam data perlintasan keluar Indonesia tanggal 6 Januari,” kata Arvin pada 13 Januari 2020 seperti yang dikutip dari Kompas.com.

Sementara itu, HI (26), istri kedua Harun, mengaku tidak mengetahui keberadaan suaminya.
Komunikasi terakhir dengan Harun pun terjadi sehari sebelum OTT terjadi atau pada 7 Januari lalu.

HI mengatakan, selama ini suaminya terkesan tertutup tentang pekerjaannya. Soal statusnya sebagai buronan KPK pun justru ia ketahui dari media massa.

"Kalau soal aktivitasnya saya tidak tahu sebab dia agak tertutup dan kadang tiba tiba menelepon untuk ketemu bahwa ia ada di Makassar,” kata HI, Selasa (21/1/2020).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berharap KPK dapat menindak oknum di lembaga antirasuah itu yang berbohong menyebut Harun masih berada di luar negeri.

Menurut dia, oknum tersebut dapat dikenakan pasal obstruction of justice atau upaya menghalangi penegakan hukum.

"Ini kan kalau benar ada upaya untuk menghalangi proses hukum dalam konteks penyidikan yang sedang dilakukan oleh KPK ada instrumen hukumnya, dalam UU Tipikor kita Pasal 21 tegas sekali menyebutkan obstruction of justice," kata Kurnia di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Senin (20/1/2020).

Kurnia kemudian merujuk laporan majalah Tempo yang menyebut Harun telah berada di Indonesia sejak 7 Januari 2020.

Menurut dia, Presiden Joko Widodo dapat mengambil langkah tegas terhadap instansi yang menyebarkan kebohongan publik atas keberadaan buronan tersebut.

"Jadi kan selama ini Kementerian Hukum dan HAM mengatakan Harun di luar negeri. Sementara otoritas yang harusnya lebih tahu soal keberadaan yang bersangkutan, apalagi melalui lalu lalang penerbangan internasional kan Kemenkumham, Ditjen Imigrasi," ucap Kurnia.

"Soal temuan Tempo itu menarik. Saya rasa kalau menjadi sebuah kebenaran tidak ada alasan apa pun untuk Presiden Jokowi untuk tidak menegur instasi terkait yang telah melakukan kebohongan publik," ucap dia.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: