logo
×

Jumat, 06 Maret 2020

Pengelola Ibu Kota Baru antara Chemistry Jokowi-Ahok Vs Resistensi 212

Pengelola Ibu Kota Baru antara Chemistry Jokowi-Ahok Vs Resistensi 212

DEMOKRASI.CO.ID - Berbicara di Istana Negara Senin 2 Maret 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan empat nama yang jadi kandidat Kepala Badan Otoritas Ibu Kota baru di Kalimantan Timur.

Berturut-turut Presiden Jokowi menyebut Menteri Riset, Teknologi, dan Kepala Badan Riset Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro, lalu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang juga Komisaris Utama PT Pertamina, kemudian Direktur Utama PT Wijaya Karya bernama Tumiyana, dan terakhir Bupati Banyuwangi Azwar Anas.

Jadi untuk otoritas ibu kota negara, ini memang kita akan segera menandatangani perpres (peraturan presiden) di mana di situ ada CEO-nya, CEO-nya sampai sekarang belum diputuskan, dan akan segera diputuskan Insya Allah dalam minggu ini," ujar Jokowi.

Sebelumnya, Kepala Badan Otorita Ibu Kota ini disebut punya kedudukan setingkat menteri. Dia punya kewenangan mempersiapkan, membangun, dan kemudian mengawal sampai proses pemindahan.

Namun, pengumuman Jokowi tersebut langsung mendapat respon negatif dari sejumlah alumni Aksi 212 yang menamakan diri Mujahid 212. Soalnya ada nama Ahok dalam kandidat itu. Mujahid 212 mengusik lagi hukuman yang diterima Ahok karena dinilai menista agama.

Dari empat nama yang disebutkan Jokowi, Ahok memang nama yang dinilai paling diunggulkan untuk menempati jabatan tersebut. Analis kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menyatakan posisi Ahok yang pernah menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta merupakan nilai tambah baginya.

"Ahok ini pernah jadi pemimpin ibu kota negara, sementara nama yang lainnya tidak," ujar Trubus yang juga pengajar di Universitas Trisakti, Jakarta pada wartawan. Belum lagi sebelumnya, Ahok pernah menjabat sebagai bupati dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan sederet pengalaman tersebut pria kelahiran Belitung Timur, Bangka Belitung ini dinilai memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi yang lengkap untuk memimpin lembaga baru itu.

"Ibu kota negara yang baru ini tidak hanya soal pembangunan infrastruktur. Tapi juga menyangkut manusia. Karena akan melibatkan perpindahan manusia yag cukup banyak. Akan ada pertemuan dua kelompok, masyarakat lokal dan pendatang. Ini juga butuh manajemen tersendiri," kata Trubus.

Terkait rekam jejak Ahok sebagai eks narapidana, Trubus mengatakan hal tersebut tak berkaitan dengan kompetensinya. "Yang bersangkutan kan sudah dihukum dan lagian dia bukan koruptor," katanya.

Munculnya penolakan merupakan hal yang wajar. Menurut Trubus, tidak ada satu pun pejabat publik yang benar-benar disukai semua kalangan. "Jadi kalau ada yang menolak ya sah-sah saja," ujarnya.
"Sepanjang penolakan itu bukan dengan alasan politik identitas. Dalam konteks negara majemuk politik identitas itu harusnya tidak relevan lagi," tuturnya.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan kemunculan Ahok sebagai calon pejabat publik pasti memunculkan resistensi dari kelompok alumni Aksi 212.

"Patut diingat gerakan 212 ini untuk menghadang Ahok untuk jadi Gubernur DKI Jakarta. Melawan orang yang dianggap menista agama. Jadi Ahok pasti akan dilawan terus," kata Adi.

Namun, menurut Adi harus diingat penunjukan Kepala Badan Otoritas Ibu Kota baru itu merupakan sepenuhnya hak presiden. "Jadi terserah presiden percaya sama siapa, itu hak prerogatif Jokowi sebagai presiden," ujar Adi.

Presiden Jokowi pun tahu kebijakannya memunculkan nama Ahok tersebut akan menimbulkan riak-riak penolakan. Adi menilai langkah presiden itu untuk menguji sejauh mana dan sebesar apa resistensi terhadap mantan tandemnya saat memimpin DKI Jakarta pada 2012 lalu itu.
"Karena pembangunan ibu kota ini butuh kerja cepat dan Presiden Jokowi butuh orang yang bisa kerja. Kerja cepat, tidak terlalu banyak pertimbangan. Ini dilihatnya ada dari sosok Ahok. Moto presiden kan sederhana kerja, kerja kerja bukan mikir mikir mikir atau diskusi diskusi diskusi."

Selain itu menurut Adi, jika pembangunan ibu kota baru itu diibaratkan sebagai sebuah permainan bola, Ahok merupakan tipikal kapten tim yang diharapkan pelatih dalam hal ini Jokowi. "Ahok ini dalam pemahaman Jokowi cepat mengerti instruksi dan sekali perintah bisa mengeksekusi," ujar Adi.

"Kebut-kebutan begini presiden butuh orang yang sudah dianggap bisa mengerti keinginannya. Istilahnya sudah satu chemistry. Kedipan presiden saja sudah bisa diterjemahkan dalam sebuah pekerjaan."

Menurut Adi, sekarang pilihan ada di tangan Presiden Jokowi. Tetap memelihara resistensi dari kelompok Aksi 212 atau memilih orang kepercayaan sebagai pemimpin institusi baru yang akan mempersiapkan dan mengelola ibu kota baru.(dtk)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: