DEMOKRASI.CO.ID - Dampak virus korona tak hanya dirasakan oleh mereka yang menjadi pasien secara langsung, namun secara tak langsung, dampak virus ini juga menggerus kesehatan ekonomi masyarakat.
Sebanyak 139.288 pekerja di DKI Jakarta terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave) akibat imbas virus ini. Para pekerja itu berasal dari 15.472 perusahaan. Sebanyak 25.956 pekerja dari 2.881 perusahaan terkena PHK dan 113.332 pekerja dari 12.591 perusahaan dirumahkan sementara.
Angka tersebut merupakan data yang dihimpun Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta hingga kemarin (4/4/2020) malam dan diumumkan melalui akun Instagram @disnakertrans_dki_jakarta. Dinas Tenaga Kerja juga diketahui tengah mendata para pekerja yang di-PHK dan dirumahkan karena imbas Covid-19.
Para pekerja yang di-PHK atau dirumahkan diminta untuk mengisi data melalui bit.ly/pendataanpekerjaterdampakcovid19, paling lambat Sabtu kemarin. Mereka juga bisa mengunduh formulir di bit.ly/formulirkartuprakerja lalu kirim ke disnakertrans@jakarta.go.id.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kurniasih Mufidayati, mengatakan jika tidak ada kebijakan khusus untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 di DKI Jakarta sebagai episentrum, maka korban akan terus bertambah. Durasi waktu pandemi ini pun bisa lebih berkepanjangan. Dampak ekonomi bagi masyarakat DKI juga akan semakin terpuruk.
Oleh karena itu, legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta ini meminta Pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk memutus mata rantai Covid-19 dengan tetap memperhatikan aspek kemanusiaan dan memberikan insentif bagi masyarakat ekonomi lemah yang terdampak.
"Masalah PHK, pemerintah pusat harus ikut bertanggung jawab. Banyak program yang bisa dilakukan. Memberikan kartu Pra Kerja kepada pekerja yang benar-benar terdampak, subsidi atau insentif kepada keluarga pekerja terdampak," kata Kurniasih saat dihubungi, Minggu (5/4/2020).
Kurniasih menjelaskan, solusi atas masalah ini adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah dikeluarkan pemerintah dengan membangun kesadaran lebih tinggi di masyarakat serta karantina wilayah parsial di titik-titik paling banyak korban virus.
Namun, Kurniasih lebih sepakat dengan karantina wilayah parsial selama dua pekan karena dinilai lebih efektif mencegah penularan virus. Selain itu, anggaran untuk insentif bagi masyarakat yang terdampak berlaku dua pekan akan lebih pendek.
"Durasi pengendalian dampak Covid-19 akan bisa lebih terukur. Sudah sebulan banyak masyarakat nggak bisa penuhi kebutuhan pokoknya. Kasihan," ujar dia.
Kelonggaran Kebijakan Fiskal
Dihubungi terpisah, anggota komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo, menyadari bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari Covid-19 ini telah membuat dunia berada dalam resesi ekonomi. Demikian halnya di Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga telah memprediksi pertumbuhan perkiraan paling buruk ada di angka minus 0,4%.
Artinya, kata Rahmad, pengangguran dan PHK tidak akan terhindari. "Nah saat ini yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberikan kelonggaran dan kebijakan fiskal dalam rangka membantu itu," katanya.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Tengah V ini menambahkan, Bank Indonesia (BI) perlu membuat aturan terhadap kemungkinan terburuk menyikapi kondisi saat ini. "Saat ini, pemerintah juga telah dan sedang menyiapkan paket-paket kebijakan terhadap para korban PHK dan pengangguran baru," ujar dia.(*)