logo
×

Jumat, 08 Mei 2020

Guru dan Lionel Messi

Guru dan Lionel Messi

Oleh:Indra Charismiadji

SIAPA yang tidak mengenal Lionel Messi? Seorang pemain sepak bola berkebangsaan Argentina, yang bermain untuk klub Barcelona di Spanyol. Menurut majalah Forbes, Messi menempati posisi teratas sebagai atlet dengan bayaran tertinggi di seluruh dunia pada 2019 yang lalu. Gaji Lionel Messi adalah 84 juta dolar Amerika per tahun atau sekitar 100 milyar rupiah per bulan.

Apabila seseorang secara acak kita pilih dan diberi gaji Rp 100 milyar per bulan, apakah otomatis orang tersebut memiliki kemampuan sepak bola sehebat Messi? Saya yakin jawabannya, tidak. Yang terjadi adalah Messi menunjukkan kemampuan sepak bola yang luar biasa sehingga klub Barcelona mau menggaji Rp 100 milyar per bulan. Ini cara kerja dunia profesional. Barcelona tidak rugi mengeluarkan biaya begitu besar. Mereka justru meraup keuntungan yang luar biasa besar karena tiket pertandingan, sponsor, hak siar, dan lain sebagainya, menjadi penghasilan klub tersebut.

Konsep ini yang sering disebut simbiosis mutualisme alias hubungan yang saling menguntungkan.

Sayangnya, selama ini pandangan terhadap pendidik di Indonesia tidak menggunakan logika di atas. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan jika setiap forum pertemuan guru, setiap diminta untuk meningkatkan mutu pengajaran para guru lebih memilih untuk diam. Sedangkan jika dalam forum itu membahas kenaikan pendapatan maka respons para guru langsung terlihat.

Saya adalah salah satu orang yang sering mengkritisi kompetensi dan kapasitas para pendidik di Indonesia. Tentunya bukan karena saya membenci para pendidik, bagaimana mungkin saya membenci profesi utama keluarga besar saya. Mulai dari kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu-sepupu saya adalah bekerja sebagai guru atau dosen. Apa yang saya sampaikan bukan karena saya tidak tahu kondisi lapangan, justru karena saya hidup bersama para pendidik seumur hidup saya.

Jika Anda membaca komentar-komentar yang diberikan para pendidik pada pendapat saya tentang rendahnya mutu pendidikan Indonesia dan ini dapat dikonfirmasi pada unggahan berita maupun media sosial, mayoritas berargumentasi bahwa hal itu disebabkan karena rendahnya penghasilan para pendidik.

Secara langsung, saya pun sering berdebat dengan para pendidik mengenai hal tersebut di atas, dan argumentasi saya tidak berubah, tunjukkan kompetensi dan kapasitas sebagai seorang Lionel Messi baru Rp 100 milyar per bulannya akan muncul.

Kritikan saya tentang kondisi pembelajaran jarak jauh dalam jaringan sejak pandemi Covid-19 yang belum efektif ini pun mendapatkan reaksi negatif yang cukup keras dari para pendidik. Mereka beralasan ketidakefektifan pembelajaran jarak jauh dalam jaringan disebabkan karena minimnya sarana prasarana, sulitnya jaringan dan akses internet, keterbatasan kuota untuk paket data, dan lain sebagainya.

Dari satu sisi memang ada benarnya tetapi jika kita melihat dari sudut pandang persaingan global dan tantangan revolusi Industri 4.0, pandangan tersebut seakan mengatakan bahwa dalam kompetisi piala dunia kesebelasan Indonesia hanya akan bisa menjadi juara dunia bila bola yang dipakai adalah bola plastik dan pemainnya tidak boleh menggunakan sepatu sepak bola.

Faktanya kita semua yakin bahwa tim Indonesia tetap akan dibantai oleh Lionel Messi  dan kawan-kawan walupun mereka ‘nyeker’ dan menggunakan bola plastik.

Tulisan ini tentunya bukan bertujuan untuk mendiskreditkan para pendidik seperti yang sering dituduhkan kepada saya. Justru, sebaliknya tulisan dibuat ini untuk memuliakan para guru. Guru adalah profesi yang mulia dan terhormat untuk itu tidak sembarang orang bisa menjadi pendidik yang baik dengan kompetensi dan kapasitas yang mumpuni untuk membimbing peserta didik menjadi manusia yang utuh, unggul, dan berkarakter baik.

Seorang mantan pejabat esolon 1 Kemdikbud pernah berkata, andaikan untuk menerbangkan dan mendaratkan sebuah pesawat terbang seorang pilot harus memiliki 9 keterampilan tetapi ternyata sang pilot hanya memiliki 5 keterampilan saja, apakah kita berani untuk menjadi penumpang dalam pesawat itu?

Tanpa ragu saya jawab tentunya tidak berani karena pilot ini bisa menerbangkan pesawat tapi belum tentu bisa mendaratkannya. Sambil tersenyum beliau mengatakan, itulah kondisi para pendidik kita saat ini, dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2015 menunjukkan rerata nasional hanya di angka 56,69 atau ‘D’ kalau menggunakan skala nilai di perguruan tinggi.

Bagaimana dengan output dari pembelajaran? Kemampuan membaca  (literasi) anak Indonesia mendapatkan skor 371 pada tes PISA tahun 2000 dan setelah 7 (tujuh) kali mengikuti tes yang sama dalam kurun waktu 18 (delapan belas) tahun, pada tahun 2018 anak Indonesia masih mendapatkan skor yang sama di 371.

Sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata anak-anak dari negara OECD yang memiliki skor 487 untuk membaca pada tes PISA 2018. Jika kemampuan membacanya rendah tentu kemampuan belajarnya juga rendah. Jika kemampuan belajarnya rendah otomatis tingkat kecerdasannya juga pasti rendah. Hal senada juga terjadi pada kemampuan numerasi (matematika) dan sains.

Artinya, selama belasan tahun mutu pendidikan Indonesia stagnan walaupun telah dianggarkan insentif tambahan bagi para guru berupa Tunjangan Profesi Pendidik. Tambahan insentif ini menurut kajian Bank Dunia baru sebatas meningkatkan penghasilan pendidik tetapi tidak berdampak pada peningkatan kapasitas dan kualitas pendidik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam suatu acara mengungkapkan bahwa 60 persen anggaran pendidikan,  berarti sekitar 304 trilyun di tahun 2020,  terserap untuk gaji dan tunjangan guru tetapi kualitas pendidikan Indonesia jauh dibawah negara tetangga seperti Vietnam.

Yang paling menyedihkan dari situasi ini adalah ternyata para pendidik Indonesia sangat anti kritik. Di dalam benak mereka menjadi guru artinya menjadi Yang Maha Benar. Ungkapan seperti kacang lupa kulit, orang tidak tahu terima kasih atas jasa-jasa para guru, hanya sebatas komentator sepak bola saja yang hanya bisa memberi komentar tanpa bisa bermain bola adalah kalimat yang biasa muncul dari para guru jika ada kritikan mengenai kapasitas dan kualitas mereka.

Sambil bergurau terkadang saya mengatakan bahwa saya akan berhenti menjadi komentator sepakbola jika mereka menunjukkan memang mereka mampu bermain sepakbola dengan baik.

Mungkin saatnya Indonesia memperlakukan para guru seperti para pemain sepakbola profesional. Sehingga semua guru bekerja berdasarkan kontrak alias tidak ada yang permanen, dan digaji sesuai dengan kapasitas, kualitas, dan kinerja. Saya sangat yakin bahwa negara tidak akan rugi jika memang ada guru yang layak dibayar 100 milyar per bulan sama seperti Barcelona membayar pemain terhebatnya. Butuh perubahan radikal untuk membangun SDM unggul, toh ini ide dari para guru sendiri.

(Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0, Direktur Eksekutif CERDAS (Center for Education Regulations & Development Analysis) dan Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: