logo
×

Senin, 18 Mei 2020

Sedih! Gara-gara Mau Tanam Ubi di Tanah Leluhurnya, Pak Bongku Dipenjara

Sedih! Gara-gara Mau Tanam Ubi di Tanah Leluhurnya, Pak Bongku Dipenjara

DEMOKRASI.CO.ID - Nasib apes dialami Pak Bongku karena hanya ingin menanam ubi berujung jeruji besi. Pak Bongku adalah salah satu dari masyarakat adat Suku Sakai yang sehari-hari hanya mengandalkan alam untuk bertahan hidup.

Menggalo mersik merupakan makanan khas suku Sakai yang dibuat dari ubi menggalo atau ubi racun. Ubi bagi masyarakat Sakai sama halnya dengan nasi. Sama seperti sagu bagi masyarakat adat Papua. Tidak makan menggalo artinya perut tidak kenyang, karena itu pengganti nasi bagi masyarakat Suku Sakai.

Pak Bongku adalah seorang masyarakat adat Sakai yang berada di Suluk Bongkal. Sehari-hari Pak Bongku bekerja sebagai petani tradisional, untuk menghidupi keluarganya ia menanam ubi kayu, ubi menggalo (ubi racun) yang diolah menjadi menggalo mersik (LBHPekanbaru.or.id, 2020).

Keinginan Pak Bongku untuk mengolah ubi kayu itulah bermula dia mendekam di penjara.

Sebagaiman dikutip dari laman LBHPekanbaru.or.id, Pak Bongku membuka lahan untuk ditanami ubi kayu dan ubi menggalo, ia menggarap lahan yang merupakan tanah ulayat yang saat ini diperjuangkan dan berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT Arara Abadi Distrik II, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Lahan yang digarap untuk ditanami ubi oleh Pak Bongku | Foto Walhi Pekanbaru

Minggu, 3 November 2019 ia (Pak Bongku) ditangkap oleh security PT Arara Abadi dan selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Sektor Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Dan akhirnya di sidang oleh Pengadilan Negeri Bengkalis pada 24 Februari 2020.

Jaksa Penuntut Umum mendakwa Pak Bongku melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang berbunyi: “Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Rumah sewa Pak Bongku, tak jauh dari tempat dia mau tanam ubi | Foto Walhi Pekanbaru

#BebaskanBongku karena Tidak Bersalah

Mengutip dari laman Lbhpekanbaru.or.id, selama dalam perjalanan sidang, tidak satu pun pasal dalam dakwaan Jaksa dapat dibuktikan. Fakta di persidangan mengungkapkan bahwa Pak Bongku adalah masyarakat adat Sakai yang tinggal tidak begitu jauh dari lokasi penebangan. Ahli masyarakat adat dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau dalam persidangan menjelaskan bahwa masyarakat adat Sakai sudah hidup lama sebelum Indonesia ada dan tercatat dalam dokumen LAM.

Pak Bongku didamping Advokat LBH Pekanbaru | Foto LBH Pekanbaru

Ahli pidana Dr Ahmad Sofian, SH MA, menjelaskan tentang muatan dari UU P3H tidak dapat diterapkan, pada intinya UU P3H dibentuk untuk kejahatan yang terstruktur dan terorganisir bukan untuk masyarakat adat yang tinggal dalam kawasan hutan. Terstruktur dan terorganisir adalah dua orang atau lebih melakukan pengrusakan hutan dalam satu waktu tertentu.

Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat mengumpulkan 14 Amicus Curiae (Pendapat Hukum) dari berbagai kalangan, salah satunya Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS yang pernah ikut membahas UU P3H pada saat UU ini dirancang.

Beberapa aksi tuntutan #BebaskanBongku di Pengadilan Negeri Bengkalis | Foto LBH Pekanbaru

Selain para pendapat hukum di atas masyarakat juga mendukung #BebaskanBongku melalui petisi di sini.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: