DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo meminta KPK agar menggigit keras-keras oknum di pemerintahan maupun di luar pemerintahan yang menyelewengkan dana Covid-19.
Menyikapi hal tersebut, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil mengatakan, perintah Presiden kepada penegak hukum termasuk KPK bertolak belakang dengan Perppu 1/2020 terkait corona (sudah jadi UU 2/2020) yang memiliki potensi atau ruang untuk melakukan tindak korupsi.
"Begini, menurut saya perppu yang diterbitkan itu kan, sebenarnya berpotensi dan memberikan ruang, bahwa pejabat itu tidak bisa dikriminalkan, kan begitu. Itu kenapa salah satu PKS yang menolak (perppu)," ujar Nasir Djamil kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (16/6).
Dia menilai arahan Presiden tersebut kontradiktif, lantaran perppu yang telah diteken pemerintah dan DPR tersebut menjadi jalan masuk tindak korupsi.
"Karena itu, ketika Presiden meminta kepada KPK, penegak hukum untuk mengawasi dan menggigit dengan gigitan yang kuat, kalau misalnya ada itu ya(korupsi), artinya Presiden sendiri menerbitkan perppu yang memberikan ruang untuk terjadinya potensi, bahwa orang yang bersangkutan tidak bisa dikriminalkan atau tidak bisa dipidanakan," bebernya.
Menurut Nasir Djamil, sebenarnya Presiden sudah benar melakukan upaya pencegahan dengan cara meminta KPK dan instansi penegak hukum untuk dapat mengawasi dengan ketat penyaluran dana Covid-19 senilai ratusan triliun.
"Nah, oleh karena itu menurut saya secara umum saya baca yang diarahkan Presiden itu sudah benar, bahwa dia meminta agar KPK mencegah jangan sampai ada aparat penyelenggara negara yang terperosok ke dalam," ucapnya.
Politisi asal Aceh ini menambahkan bahwa Perppu 2/2020 merupakan benteng bagi oknum-oknum yang mencoba untuk melakukan penyelewengan dana Covid-19.
"Jadi, kesalahan persepsi yang terbangun oleh publik. Di satu sisi Presiden meminta untuk mengawasi, sementara perppu-nya sendiri itu seperti benteng. Bagi penyelenggara negara tu untuk tidak bisa dipidanakan," tutup Nasir Djamil. (Rmol)