DEMOKRASI.CO.ID - Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat merupakan hak setiap warga negara dan sudah dijamin oleh konstitusi. Karena itu, dalam menyampaikan pendapat juga harus secara konstitusional dan tidak semena-mena.
Sebab, kebebasan individu tidak bersifat absolut. Karena dibatasi oleh kebebasan individu lainnya.
Begitu disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Politik, Hukum, Ekonomi, dan Sosial, Dini Purwono, saat mengisi diskusi daring #SolusiUntukNegeri dengan topik "Antara Riuh-Keruh Medsos dan Kebebasan Berpendapat. Bagaimana Menertibkan?", Sabtu (20/6).
"Jadi memang, kebebasan berpendapat itu juga harus dilakukan secara konstitusional. Bahwa kebebasan kita itu tidak absolut. Tidak ada yang absolut dalam dunia ini. Kebebasan kita tidak absolut karena kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain," ujar Dini Purwono.
Menurut politikus PSI ini, Indonesia merupakan negara hukum dan segala sesuatunya diatur dengan aturan hukum tersebut. Termasuk dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi agar dilakukan secara konstitusional.
"Kita mesti konsekuen, segala sesuatunya itu ada rambu-rambunya. Karena itu ada aturan hukum yang memastikan bahwa kita tidak melaksanakan kebebasan kita dengan semena-mena dan akhirnya menzolimi kebebasan orang lain," tuturnya.
"Bahwa hak itu harus dibaca bersama dengan kewajiban," imbuh dia.
Dini Purwono mencontohkan kasus komika Bintang Emon, di mana warganet secara beramai-ramai menyebut pemerintah otoriter.
Padahal, kata dia, hal itu merupakan masalah penegakan hukum yang ujung-ujungnya bermuara pada kualitas aparat penegak hukumnya itu sendiri. Termasuk, kualitas masyarakat dalam melihat persoalan tersebut.
"Nah ini masalah pemahaman juga dari masyarakat. Dengan bendera kebebasan berpendapat, langsung semena-mena gitu. Seperti yang kemarin terjadi dengan Bintang Emon gitu kan, langsung semuanya berpendapat," tuturnya.
Tak jauh berbeda dengan kasus penangkapan warga Sula Maluku Utara karena mengunggah guyonan dari Presiden RI keempat, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di media sosial. Hal ini merupakan contoh kasus yang menunjukkan minimnya kualitas aparat penegak hukum.
"Masalahnya pada penegakan hukumnya, law investment-nya. Mulai dari pemahamannya, seperti yang terjadi di Sula Malut, itu kan kelihatan banget karena polisi yang bersangkutan tidak memahami pasal yang yang ingin dia tuduhkan, tidak memahami substansi," kata Dini Purwono.
Kalau kita bicara penegakan hukum, ujung-ujungnya adalah kualitas manusianya. Jadi kita enggak bisa bicara mengenai kualitas aparat penegak hukumnya saja, tapi juga dari masyarakatnya sendiri," imbuhnya menegaskan. (Rmol)