logo
×

Jumat, 28 Agustus 2020

Djoko Tjandra Janjikan Success Fee Rp 146 Miliar untuk Jaksa Pinangki

Djoko Tjandra Janjikan Success Fee Rp 146 Miliar untuk Jaksa Pinangki

DEMOKRASI.CO.ID - Tidak butuh waktu lama bagi Bareskrim untuk mengorek keterangan dari para tersangka kasus red notice Djoko Tjandra. Dalam pemeriksaan Selasa malam lalu, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo mengaku menerima suap.

Pemeriksaan Napoleon dan Prasetijo dilakukan bersamaan dengan tersangka lain, yakni Tommy Sumardi. Tommy diduga berperan sebagai pemberi suap. Ketiganya diperiksa selama hampir 12 jam, sejak pukul 09.00 sampai 21.00. ”Banyak pertanyaan yang diajukan,” jelas Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Awi Setiyono.

Untuk Tommy, penyidik mengajukan lebih dari 60 pertanyaan. Lalu, pertanyaan untuk Irjen Napoleon lebih dari 70. ”Untuk Brigjen PU (Prasetijo Utomo, Red), ada 50 pertanyaan yang diajukan,” jelas jenderal bintang satu tersebut.

Pertanyaan untuk tiga tersangka itu tidak jauh berbeda. Semua terkait dengan pemberian suap penghapusan red notice atas nama Djoko Tjandra. ”TS (Tommy Sumardi) dan Irjen NB (Napoleon Bonaparte) tidak ditahan. Berdasar keterangan penyidik, keduanya kooperatif,” urainya.

Dia menjelaskan, yang paling penting, dalam pemeriksaan tersebut Irjen NB dan Brigjen PU mengakui menerima suap untuk pengurusan red notice. Namun, mengenai jumlah atau nominal suap, itu akan dibuka di pengadilan. ”Tidak kami sampaikan dulu,” terangnya.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, sebagai pelapor kasus Djoko Tjandra, pihaknya mengapresiasi Bareskrim Polri yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan cepat. ”Semuanya dilakukan dengan terbuka,” katanya.

Dia lantas membandingkan dengan penanganan kasus Djoko Tjandra di Kejaksaan Agung (Kejagung). ”Seharusnya Kejagung bisa mengimbangi kecepatan dan keterbukaan Polri,” tuturnya.

Untuk kasus di Polri, hampir semua saksi yang diajukan MAKI telah diperiksa dan malah menjadi tersangka.” Sayangnya, di Kejagung hingga saat ini juga belum ada penetapan tersangka pemberi suap,” ucapnya.

Lalu, penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Bareskrim lebih lengkap. Sejak awal, Bareskrim menerapkan pasal 11, 12, dan 15. Di pasal itu, hukuman penjara bisa sampai 20 tahun. ”Berbeda dengan di Kejagung yang penerapan pasalnya di awal hanya pasal 5 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun. Penerapan pasal 11 dan 12 juga baru saja dilakukan setelah didesak,” jelasnya.

Bareskrim juga terbuka dengan mengundang KPK untuk melakukan gelar perkara. Boyamin menyebut, Kejagung sama sekali belum mengundang KPK untuk melakukan supervisi semacam itu. ”Itulah perbedaannya,” terangnya.

Dia menjelaskan, saat ini ada saksi berinisial PG yang belum diperiksa Kejagung. Padahal, PG diduga merupakan salah satu saksi yang mampu mengungkap janji Djoko Tjandra terhadap Jaksa Pinangki. ”Selain menerima USD 500 ribu, juga ada janji untuk mendapat hadiah (success fee) senilai USD 10 juta (Rp 146 miliar),” ujarnya.

Janji tersebut dalam bentuk jual beli tambang untuk power plan. ”Walau hanya janji, itu semua sudah masuk dalam pasal korupsi,” terang mantan kuasa hukum Antasari Azhar tersebut.

Sebelumnya, Boyamin mendesak pengusutan kasus Djoko Tjandra ditangani KPK. Terutama setelah beredar kabar bahwa Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengetahui pertemuan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan Djoko Tjandra. Kabar tersebut telah dibantah jaksa agung. Namun, Boyamin tetap meminta KPK turun tangan agar pemeriksaan berjalan dengan netral.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, pihaknya masih memantau perkembangan penanganan perkara Jaksa Pinangki. Termasuk soal dugaan keterlibatan Jaksa Agung. KPK, kata Ali, mendorong tim penyidik Kejagung untuk mengungkap dugaan keterlibatan pihak-pihak lain. “Sesuai tugas pokok fungsi perkara sebagaimana tersebut dalam UU KPK, maka saat ini KPK masih terus memantau perkembangan penanganan perkara tersebut,” ungkapnya.

Dari Senayan, Komisi III DPR kemarin memanggil jajaran Kejagung dan mitra kerja dari kementerian lain. Namun, belum ada pembahasan resmi tentang kasus Djoko Tjandra. Komisi III mengagendakan masalah tersebut dibahas dalam pertemuan berikutnya yang dihelat Senin depan (31/8). Meski demikian, beberapa anggota komisi III sempat menyoroti kasus Djoko Tjandra. Mereka meminta Kejagung sesegera mungkin menjawab berbagai spekulasi yang beredar di masyarakat. Termasuk soal keberadaan uang sitaan kasus Bank Bali.

Kejagung sebelumnya mengklaim sudah menyetorkan barang bukti senilai Rp 546 miliar ke kas negara. Penyitaan dilakukan Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi yang saat itu menjabat Kajari Jakarta Selatan.

Anggota Komisi III Supriyansa menegaskan, jaksa agung harus memastikan dan menunjukkan secara jelas ke publik tentang keamanan barang-barang bukti atau sitaan tersebut. ’’Barang sitaan dari Bank Bali ini sudah berada di mana posisinya, di bank atau kas negara,’’ tegas Supri kemarin.
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: