DEMOKRASI.CO.ID - Dalam proses penyidikan perkara suap terkait perizinan ekspor benih lobster (benur), Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri tiba-tiba menyinggung perihal ancaman pidana bagi saksi yang tidak kooperatif. Siapa yang disasar KPK?
Awalnya Ali Fikri memberikan perkembangan terbaru penyidikan yang dilakukan pada Rabu, 27 Januari 2021 mengenai kasus yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo itu. Ada 2 orang saksi yang saat itu diperiksa yaitu Ery Cahyaningrum dan Alayk Mubarrok.
Untuk Ery, penyidik menanyakan tentang usahanya menjual produk minuman jenis wine yang diduga dibeli dan dikonsumsi Edhy Prabowo. Sebab, penyidik menduga uang yang digunakan Edhy Prabowo untuk membeli minuman itu berasal dari suap.
Sedangkan Alayk disebut penyidik sebagai tenaga ahli dari Anggota DPR bernama Iis Rosita Dewi yang juga istri dari Edhy Prabowo. Alayk diduga penyidik mengetahui dan memberikan uang dari hasil suap Edhy Prabowo ke Iis Rosita Dewi.
"Alayk Mubarrok dikonfirmasi terkait posisi yang bersangkutan sebagai salah satu tenaga ahli dari istri tersangka EP (Edhy Prabowo) yang diduga mengetahui aliran uang yang diterima oleh tersangka EP dan tersangka AM (Amiril Mukminin/sekretaris pribadi Edhy Prabowo) yang kemudian diduga ada penyerangan uang yang diterima oleh istri tersangka EP melalui saksi ini," ucap Ali dalam keterangannya.
Dalam perkara ini total ada 7 tersangka yang ditetapkan KPK termasuk Edhy Prabowo. Enam orang lainnya antara lain Safri sebagai mantan staf khusus Edhy Prabowo, Andreau Pribadi Misanta sebagai mantan staf khusus Edhy Prabowo, Siswadi sebagai Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Ainul Faqih sebagai staf dari istri Edhy Prabowo, Amiril Mukminin sebagai sekretaris pribadi Edhy Prabowo, serta seorang bernama Suharjito sebagai Direktur PT DPP. Dari keseluruhan nama itu hanya Suharjito yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap, sisanya disebut KPK sebagai penerima suap.
Secara singkat, PT DPP merupakan calon eksportir benur yang diduga memberikan uang kepada Edhy Prabowo melalui sejumlah pihak, termasuk dua stafsusnya. Dalam urusan ekspor benur ini, Edhy diduga mengatur agar semua eksportir melewati PT ACK sebagai forwarder dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.
KPK menduga suap untuk Edhy Prabowo ditampung dalam rekening anak buahnya. Salah satu penggunaan uang suap yang diungkap KPK adalah ketika Edhy Prabowo berbelanja barang mewah di Amerika Serikat (AS), seperti jam tangan Rolex, tas LV, dan baju Old Navy.
Setelahnya Ali berbicara mengenai potensi penerapan ancaman pidana bagi saksi yang tidak kooperatif. Namun Ali tidak secara spesifik menyebutkan siapa saksi yang dimaksudnya.
"Terkait proses penyidikan yang saat ini masih berjalan, KPK tidak menutup kemungkinan untuk mengumpulkan bukti-bukti baru adanya dugaan tindak pidana korupsi lain. KPK dengan tegas mengingatkan kepada pihak-pihak yang dipanggil tim penyidik KPK untuk kooperatif dan memberikan keterangan secara jujur dan terbuka terkait dengan perkara ini," kata Ali.
"Selain itu KPK juga mengingatkan ancaman pidana di UU Tipikor ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 UU Tipikor yang memberikan sanksi tegas apabila ada pihak-pihak yang sengaja merintangi proses penyidikan ini," imbuhnya.
Berikut bunyi dari Pasal 21 dan Pasal 22 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lazim disebut dengan UU Tipikor:
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).(dtk)