OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
SUATU hari, saya bertanya lewat WA kepada Pak Abdillah Toha. “Pak, bagaimana rumusan yang paling sederhana untuk membedakan antara negarawan dan politisi?”
Membaca pertanyaan saya itu, Pak Abdillah Toha membalasnya dengan tertawa, “Hahaha…” Tetapi, lalu melanjutkan dengan menulis, “Ada adagium terkenal, Pak. Statesmen think of the next generation, politicians think of the next election.”
Membaca jawaban Pak Abdillah Toha, saya ingat yang dikemukakan oleh teolog Amerika, James Freeman Clarke (1810-1888). Clarke melanjutkan adagium itu dengan mengatakan, “A politician looks for the success of his party; a statesman for that of his country.”
Seorang sahabat berkomentar setelah saya bercerita, kalau pertanyaanmu itu disodorkan pada orang Amerika (AS), maka orang yang kamu tanya akan menunjukkan uang 100 dollar AS dan mengatakan, “Lihat ini, gambar wajah Benjamin Franklin.” Lalu, menyodorkan uang lima dollar AS dan mengatakan, “Yang ini wajah Abraham Lincoln.”
Benjamin Franklin (1706-1790) meski tidak pernah menjabat sebagai presiden, tetapi dikenal sebagai Bapak Bangsa, diplomat, ilmuwan, publisher, dan penemu (pencipta) mashsyur.
Franklin membantu merancang Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) dan Konsitusi AS. Itulah sebabnya, Benjamin Franklin yang berjasa dalam kelahiran Amerika disebut sebagai negarawan utama. Dan, wajahnya diabadikan dalam uang seratus dollar AS.
Sementara, meskipun wajahnya “hanya” diabadikan dalam uang pecahan lima dollar AS, Abraham Lincoln (1809-1865), presiden ke 16 AS (1861-1865) diakui dan dihormati sebagai seorang negarawan.
Ia menjadi presiden di kala AS terjerumus dalam perang saudara dan berjuang untuk mempersatukan negara. Pada tanggal 14 April 1865 pada hari Jumat Agung (Good Friday) ia ditembak hingga tewas oleh John Wilkes Booth yang menentang kebijakan Lincoln menghapus perbudakan.
Jadi benar, tindakannya-lah dan bukan kata-katanya yang membuat seseorang menjadi negarawan. Seorang negarawan memiliki tugas suci bagi bangsanya yakni tugas suci pemberadaban, the task of civilitsation. Ini tidak mudah.
Buya Syafii Maarif dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), memberikan gambaran jelas tentang bagaimana the task of civilisation itu dilakukan oleh para tokoh-tokoh bangsa ini.
“Betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat dengan Ignatius Joseph Kasimo, Herman Johannes, Albert Mangaratus Tambunan, atau Johannes Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya. Atau antara Burhanuddin Harahap dengan Ida Anak Agung Gde Agung yang Hindu….”
Sekadar catatan: baik Natsir, Kasimo, maupun Leimena adalah orang-orang penting, tokoh-tokoh penting dari kelompok agamanya masing-masing. Mohammad Natsir yang berasal dari Minangkabau ini di tahun 1950-an adalah petinggi Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia (juga PNI dan NU), partai besar di zaman Soekarno.
Dalam Politik Bermartabat IJ Kasimo (2011), JB Sudarmanto menulis, “Meskipun dalam praksis politik, Kasimo bisa berseberangan dengan Natsir atau Sjarifudin Prawiranegara, tapi sebagai sosok pribadi, mereka tetap memandang Kasimo sebagai seorang yang jujur dan tulus hati memperjuangkan kepentingan bangsanya.”
Meskipun mereka berbeda ideologi tetapi memiliki cita-cita, visi akan masa depan yang sama bagi bangsa dan negara. Karena itu, mereka bisa membangun persahabatan sejati. Vera amicitia est inter bono, persahabatan sejati hanya terjadi di antara orang-orang yang tulus. Begitu kata pepatah Romawi.
Kita bersyukur bahwa negara ini didirikan oleh para negarawan; para tokoh mulia, yang berkarakter mulia pula seperti mereka itu, yang lebih berbuat ketimbang berbicara atau malahan berteriak-teriak lantang, membuat pernyataan kontroversial sekadar cari perhatian, membangun citra atau takut tak dikenal lagi begitu tidak menjabat.
Mereka (masih ada yang lain) para tokoh besar—negarawan—lebih memikirkan dan berbuat untuk bangsa dan negaranya ketimbang untuk partainya atau kelompoknya atau golongannya, atau keluarganya sendiri.
Seperti itulah Bung Hatta, yang namanya mendadak muncul dalam benak di saat negeri ini bising oleh berbagai pernyataan yang sebenarnya tidak produktif di tengah pandemi yang membutuhkan kebersamaan, persatuan, dan kesatuan untuk mengatasinya.
Ya, Bung Hatta yang memilih mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden karena teguh pada prinsip (Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya: 2015).
Keputusan seperti itu hanya bisa dicapai kalau “seseorang sudah bisa ‘melampaui dirinya’.”
Artinya, sudah tidak berpikiran tentang keperluan duniawi bagi pribadinya sendiri, tetapi sudah selalu menanam kebajikan untuk kehidupan dan masa depan bangsanya.
Itulah politik kemanusiaan, derajat tertinggi kesempurnaan hidup beriman.
Dan, itulah pula yang dilakukan Bung Hatta, pahlawan nasional, proklamator, negarawan, yang setelah tidak lagi di lingkungan pemerintahan, tidak lagi di lingkungan kekuasaan benar-benar menarik diri dari hiruk-pikuk dan kebisingan dunia politik, dunia kekuasaan.
Ia tidak tergoda untuk mengritik secara terang-terangan, lantang, “di tengah lapangan” pun pula sekadar cari perhatian, misalnya, terhadap Bung Karno yang masih berkuasa.
Meskipun dalam banyak hal berbeda pendapat dan pandangan dengan Bung Karno, tetapi Bung Hatta tetap bersahabat dengan Bung Karno.
Daniel Dhakidae dalam Mohammad Matta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977) menulis Hatta adalah seorang intelektual yang berpolitik dan politikus serta negarawan dengan landasan etik-intelektual yang kuat dan mendalam. Untuk ini Bung Hatta bertarung selama hidupnya.
Daya pikat Bung Hatta adalah integritasnya. Yang ia katakan, itulah yang ia lakukan. Begitulah Bung Hatta, yang mendadak namanya menyusup dalam ingatan ketika jagat Indonesia ini sedang bising.
(Opini sudah diunggah di portal pribadi Trias Kuncahyono)