logo
×

Senin, 04 April 2022

Krisis Ekonomi Sri Lanka: Salah Sendiri atau Jebakan Utang China?

Krisis Ekonomi Sri Lanka: Salah Sendiri atau Jebakan Utang China?

DEMOKRASI.CO.ID - Sri Lanka saat ini berada dalam cengkeraman krisis ekonomi skala besar. Kenaikan harga dan krisis utang negara mengubah perekonomian jadi luar biasa suram. 

Kekurangan pangan ekstrem pun turut terjadi karena bank-bank swasta kehabisan devisa untuk membiayai impor.

Terpuruknya ekonomi Sri Lanka diakibatkan oleh kurangnya mata uang asing. Tanpa cadangan mata uang asing yang memadai, negara ini tidak dapat mengimpor bahan bakar, makanan, dan barang-barang penting lainnya.

Sri Lanka memiliki utang luar negeri yang besar untuk melaksanakan proyek-proyek infrastruktur. Pada 2021, Colombo memperoleh utang luar negeri sebesar USD 35 miliar.

China menyumbang hampir 10 persen dari total utang luar negeri Sri Lanka dalam bentuk pinjaman lunak. Selain itu, pinjaman komersial tambahan melalui bank-bank pemerintah China juga telah diperoleh oleh Sri Lanka.

Akibat situasi keuangan yang memburuk, Sri Lanka harus menyerahkan kendali atas pelabuhan Hambantota yang dibangun di bagian selatan negara itu kepada China selama 99 tahun sebagai bagian dari proses pembayaran pinjaman.

Pelabuhan tersebut dibangun dengan menggunakan uang China dan dipandang sebagai pengeluaran yang tidak penting, terutama mengingat krisis ekonomi Sri Lanka yang kian memburuk.

Diberitakan dari CNBC, ditengah skala keterpurukan ekonomi Sri Lanka, ada kecenderungan di seluruh dunia untuk menggunakan kerangka geopolitik dan menunjukkan jari pada China sebagai penyebab masalah ini.

Sri Lanka kerap dipandang sebagai contoh utama dari narasi 'jebakan utang' China’. Di mana, dalam narasi ini, China secara agresif mendorong negara-negara berkembang untuk membangun proyek infrastruktur besar menggunakan pinjaman China.

Ketika negara-negara ini tidak dapat membayar kembali pinjaman mereka, mereka harus menyerahkan proyek infrastruktur kepada otoritas China.

China memang bertanggung jawab atas banyak masalah di negara ini, tetapi di sisi lain, kecerobohan para pemimpin dan kegagalan mereka untuk menjalankan kebijakan ekonomi yang sehat pun tak luput dari salah.

Pandemi COVID-19 yang melanda beberapa tahun lalu menghantam salah satu sumber utama pendapatan asing bagi Sri Lanka; pariwisata. Keputusan Sri Lanka untuk sepenuhnya melarang semua pupuk non-organik juga mengakibatkan kerusakan besar di sektor pertanian negara itu.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa China memanfaatkan situasi ekonomi Sri Lanka yang tak sehat. Tetapi krisis ini berakar pada distorsi kebijakan ekonomi Sri Lanka sendiri.

“Sri Lanka akan menghadapi kekhawatiran yang berkaitan dengan keberlanjutan utang luar negeri dan masalah neraca pembayaran (BOP) yang terus-menerus bahkan tanpa adanya utang China,” jelas peneliti ekonomi dari University of Warwick Umesh Moramudali, untuk The Diplomat.

“Masalah lebih besar di balik krisis utang Sri Lanka adalah pilihan pemerintah untuk meminjam dari pasar modal internasional dengan harga komersial pada saat ekspor negara itu sedang turun,” sambungnya. [kumparan]

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: