logo
×

Rabu, 13 Juli 2022

Jokowi, Rakyat, dan Mafia Tanah

Jokowi, Rakyat, dan Mafia Tanah

OLEH: BEATHOR SURYADI

Jokowi dan Pelayanan Publik

Sejak menjadi aparat, baik di Solo, di DKI dan di NKRI, Jokowi ingin mewujudkan pemerintahan yang melayani rakyat.

Di Solo, dia berminggu minggu rapat dengan warga pasat saat akan dipindahkan, mendengar suara rakyat.

Di DKI, begitu jadi gubernur di keliling kelurahan, mengubah pelayanan loket menjadi ruang tamu terhormat.

Awal di Istana, Jokowi kumpulkan Eselon 1 dan 2 agar mempercepat pelayanan surat surat izin dan sebagainya. Saat itu Jokowi ingin negara hadir dalam problem dan kasus-kasus eakyat (Nawacita ke-9).

Kini, kasus tanah, koflik, sengketa, dan perampasan tanah semakin marak di mana-mana, mengikuti semakin cepatnya pembangunan tol, bandara, pelabuhan, kompleks perubahan, perkebunan, dan tambang.

Kemajuan ekonomi semakin pesat, sayangnya pelayanan publik sulit terwujud.

Jokowi dan Polri

Untuk menunjukkan bahwa kerja Polri langsung di bawah kontrol presiden, maka searusnya Jokowi perintahkan Kapolri untuk mendahulukan pelayan rakyat atau pengayoman masyarakat.

Selama ini rakyat ditembakin, ditangkap, dan dipenjara. Begitu keluar penjara, lahan tanahnya hilang jadi milik orang lain.

Polri jangan jadi alat pengusaha yang mencaplok tanah rakyat. Bermula dari ploting HGU/ HGB dari Kementerian ATR/BPN dan atau Kementerian Kehutanan Lingkungan Hidup. Ploting tersebut memasukkan perkampungan desa menjadi bagian HGU atau HGB.

Nahasnya, warga desa yang pulang kerumahnya ditangkapi dengan Pasal 167 KUHP Penyerobotan, masuk pekarangan tanpa izin.

Padahal warga sudah melapor ke polisi tentang desanya dicaplok, tapi tidak dilayani, polisi mengutamakan laporan perusahaan tentang 167 dan atau pencemaran nama baik.

Jokowi dan BPN

Satu hal yang menjadi kejahatan di pertanahan, hilangnya warkah atau ada lebih satu surat tanah di lahan yang sama. Jelas dari dua kondisi ini adalah kejahatan aparat BPN.

Kecerdasan aparat BPN adalah memanfaatkan pasal-pasal 17 huruf h UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Pasal 12 huruf i Peraturan Kepala BPN RI 6/2013.

Dua aturan tersebut di atas melindungi kejahatan aparat BPN dari pidana, keterbukaan yang dikecualikan, yaitu tentang warkah.

Di sinilah awal munculnya mafia tanah (aparat negara dan penjahat). Merencanakan kejahatan perampasan tanah yang dilidungi peraturan hukum di atas.

Dalam proses pengadilan, rakyat selalu kalah dalam persidangan, karena polisi mengajukan Pasal 167. Sementara warga masyarakat inginnya adu data berkas dokumen atas lahan tersebut.

Pihak Kejaksaan Agung melalui surat edaran Jampidum tahun 2013 sudah sangat jelas, dalam konflik pertanahan harus didahulukan persidangan perdata, adu data para pihak atas lahan tersbut.

Presiden Jokowi, selain harus mencabut dua aturan tersebut, maka untuk mempercepat selesainya masalah pertanahan, sudah saatnya Menteri Hadi (Menteri ATR/BPN) menerapkan program geospasial.

Jokowi dan Geospasial

Dengan teknologi display geospasial, maka para pihak akan senantiasa melihat dan meng-update informasi, ketika mengakses informasi itulah konflik terjadi. Itulah langkah awal dari pembenahan.

Geospasial menjawab solusi pertanahan, jangan sudah dipatok, dibangun, baru muncul konflik. Kalau begini pastilah yang sudah keluar modal, atau yang banyak modal yang dimenangkan, selain warkah, info digital geospasial adalah data pokok, yang mana harus terbuka untuk diakses oleh publik.

Jika presiden belum ada UU PP dan juklak-juknis, maka itulah salah satu obyek hukum yang harus dibangun dalam reformasi agraria sekarang ini.

Yang utama presiden paham tentang referensi geospasial, sebagai solusi melawan mafia tanah, bukan membentuk Satgas Anti Mafia Tanah di semua intansi pemerintah.

Teknologi geospasial hanyalah tools semata yang digunakan untuk mendigitalisasi obyek pertanahan sehingga menjadi rigid dalam sistem.

Geospasial juga menjawab adu data atas dukomen para pihak yang mengakui sebagai pemilik lahan. Dengan penerapan teknologi geospasial dapat kita kontrol obyek dan aturan pertanahan yang suah dibuat.

Sistem tersebut akan berjalan mulus atau justru menampakan diskresi. Hal-hal yang bersifat kompromi terhadap sistem, itu namanya diskresi.

Salam Juang.

Tulisan ini adalah tanggapan atas Seminar Penyelesaian Sengketa Tanah di Luar Pengadilan oleh Kanwil BPN Banten 

(Penulis adalah Pengamat Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI)

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: