logo
×

Rabu, 10 Agustus 2022

4 Tuntutan ICJR atas Kasus Tewasnya Brigadir J, Kompolnas dan Propam Tak mampu Jalankan Tugasnya

4 Tuntutan ICJR atas Kasus Tewasnya Brigadir J, Kompolnas dan Propam Tak mampu Jalankan Tugasnya

DEMOKRASI.CO.ID - The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) turut menyoroti proses penyidikan kasus pembunuhan terhadap Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang masih terus berkembang. 

Selain Bharada E, penyidik juga telah menetapkan Brigadir RR dan Mantan Kadiv Propam Irjen Pol FS sebagai tersangka, sehingga sampai saat ini sudah ada 4 orang tersangka dalam kasus tersebut. 

Terkait hal tersebut, terdapat 4 tuntutan ICJR atas kasus tewasnya Brigadir J, di mana Kompolnas dan Propam dianggap tak mampu jalankan tugasnya.

Sebanyak 56 personel Polri diperiksa terkait pembunuhan Brigadir J, sebanyak 31 orang diduga melanggar kode etik. 

Diantaranya, 11 personel telah dilakukan penahanan di Mako Brimob Polri. 

"ICJR sejak awal proses penyidikan kasus ini telah menyerukan pengusutan terhadap dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan ketika diketahui ada upaya menghilangkan bukti rekaman CCTV," ujar Erasmus A.T. Napitupulu, selaku Direktur Eksekutif ICJR dalam keterangan resminya, Rabu 10 Agustus 2022.

"Kapolres Metro Jakarta Selatan nonaktif, Kombes Budhi Herdi Susianto pada awal kasus ini dibuka ke publik sempat menyatakan bahwa kamera CCTV rumah tersangka Irjen Pol FS telah rusak dua minggu sebelum kejadian," tambahnya.

"Namun hingga saat ini masih belum jelas bagaimana kelanjutan proses pemeriksaan terhadap Kapolres Jaksel tersebut," ungkapnya. 

Selain itu dalam proses penyidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir J, ICJR kembali menyerukan bahwa proses penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh para anggota Polri juga harus berjalan. 

Tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, namun proses pidana terhadap semua pelaku juga tetap harus ditempuh. 

Pasal 221 KUHP telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti dengan maksud supaya tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penegakan hukum. 

Bahkan, hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum tersebut seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil, sebab aparat tersebut diberi kewenangan besar yang kemudian disalahgunakan.  

Kasus ini akan menjadi salah satu uji coba terkait penggunaan pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice bagi pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum. 

Meski kedepannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat, khususnya dalam upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir saat ini.  

KUHP Indonesia sayangnya juga belum mengatur secara khusus terkait rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). 

Perbuatan yang juga tergolong sebagai menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice) tersebut bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu, atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan. 

Pengaturan ini perlu diperberat apabila dilakukan oleh pejabat dalam menjalankan proses peradilan serta diperberat lagi apabila pejabat melakukan hal tersebut dengan tujuan agar seseorang yang tidak bersalah menjadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau dilakukan dengan maksud agar seseorang mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya. 

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ICJR merekomendasikan beberapa masukan berikut:  

Pertama, Kapolri melakukan proses pidana terhadap semua pelaku obstruction of justice yang terlibat dalam proses pengusutan kasus pembunuhan terhadap Brigadi J dengan sungguh-sungguh dan secara terbuka, tidak hanya berhenti sampai pemberian sanksi etik semata apabila ditemukan adanya indikasi tindak pidana. 

Kedua, Meminta Presiden dan DPR segera merancang adanya mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen terhadap proses penyidikan oleh Polisi ke depan, untuk mengantisipasi jika terjadi kasus-kasus yang melibatkan adanya konflik kepentingan dan relasi kuasa di tubuh kepolisian.  

Belajar dari kasus seperti pembunuhan Brigadir J, Kompolnas dan Propam tidak  mampu untuk menjalankan fungsi pengawasan itu.

Perlu ada satu lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut pidana dan etik oknum kepolisian, seperti gabungan fungsi KPK dan KY, namun berfokus pada pengawasan kepolisian, hal ini dikarenakan posisi sentral kepolisian dalam sistem hukum bahkan ketatanegaraan di Indonesia.

Ketiga, dalam proses penyusunan RKUHP saat ini perlu lebih tegas untuk mengatur pasal-pasal pidana tentang obstruction of justice, termasuk memastikan adanya pidana untuk rekayasa kasus dan rekayasa bukti, hingga mengatur pemberatan hukuman khususnya bagi pelaku pejabat atau aparat penegak hukum. 

Keempat, Meminta Presiden dan DPR untuk segera mendorong adanya perubahan KUHAP untuk memastikan adanya pengawasan dan kontrol yang lebih efektif terhadap kewenangan dan perilaku polisi dalam sistem peradilan khususnya dalam melakukan fungsi penyidikan, perlu didorong penguatan peran kontrol dari Kejaksaan dan pengawasan dari pengadilan (judicial scrutiny). [disway]

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: