logo
×

Jumat, 27 Januari 2023

'Perpanjangan Masa Jabatan Kades untuk Melawan Konstitusi'

'Perpanjangan Masa Jabatan Kades untuk Melawan Konstitusi'

DEMOKRASI.CO.ID - Usulan tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun semakin menuai banyak kritik. Penggalangan masa para kepala desa disinyalir diprakarsai oleh Kementrian Desa PDTT, dan yang sangat mengherankan gagasan ini langsung direstui oleh Presiden Jokowi.

DPR pun langsung bergerak melalui Komisi II yang telah resmi mengusulkan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun dalam satu periode.

Menurut ekonom dan pakar kebijakan publik narasi dari Institute Achmad Nur Hidayat, dari rentetan peristiwa demonstrasi para kepala desa, dipanggilnya Budiman Sudjatmiko oleh Presiden Jokowi hingga usulan Komisi II DPR ke Baleg DPR tampak sangat lancar tanpa ada hambatan apapun. Semua peristiwa ini, lanjut dia, menjadi sangat tidak wajar.

"Sementara secara nalar, aspirasi perpanjangan dari kepala desa ini adalah hal yang tertolak belakang dengan logika demokrasi dimana penguasa meminta masa jabatan yang lebih panjang. Bukan rakyat yang dipimpinnya yang menghendaki," ujar Achmad kepada Republika, Kamis (26/1/2023).

Menurut Achmad, alasan-alasan yang dilontarkan oleh berbagai pihak tidak cukup kuat untuk melegitimasi perpanjangan tersebut. Yang lebih tidak bisa diterima publik adalah usulan ini sangat paradoks dengan masa jabatan presiden dan kepala daerah yang ditetapkan hanya lima tahun.

Jika sembilan tahun masa jabatan dan kepala desa bisa terpilih dua periode maka dia akan memimpin selama 18 tahun. Ini tentunya akan menghalangi pembaharuan-pembaharuan dan menyia-nyiakan potensi pemimpin-pemimpin potensial di desa.

Jika alasannya masih ada persaingan politik karena enam tahun masa jabatan kades dianggap terlalu singkat seperti yang disampaikan oleh Kades Poja, NTB, Robi Darwis yang berharap dengan perpanjangan masa jabatan kades enam tahun akan mengurangi persaingan politik tersebut.

"Alasan polarisasi seperti di atas akibat pemilihan kades tentunya hal yang tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan perpanjangan masa jabatan kades. Jika masalahnya hanya itu saja maka harusnya ada upaya sosialisasi demokrasi yang sehat bagi masyarakat sehingga masyarakat mempunyai kesadaran berpolitik yang benar, bukan dengan memperpanjang masa jabatan kades," tutur Achmad.

Mengenai opini polarisasi yang menjadi alasan perpanjangan masa jabatan desa, lanjut dia, maka polarisasi yang justru lebih parah terjadi setelah pilpres. Jika analoginya sama, ia menilai hal ini akan dijadikan alasan oleh penguasa untuk memperpanjang masa jabatan dan secara halus mendorong DPR untuk amandemen terhadap Undang-Undang.

"Ini adalah upaya makar terhadap konstitusi secara halus. Jelas-jelas upaya penguasa yang ingin berkuasa lebih lama adalah langkah otoritarian," imbuhnya.

Ia menilai, sejatinya masa jabatan kades ini harusnya sama-sama 5 tahun seperti masa jabatan presiden, sehingga Mendagri harusnya lebih mengedepankan dasar konstitusi yang menjadi landasan pertimbangan.

Perkembangan zaman terus berubah, pendekatan dalam pengelolaan desa pun tentunya membutuhkan pembaharuan -pembaharuan.

"Jika dijabat oleh orang yang sama dalam kurun waktu yang panjang maka akan beresiko bahwa desa tidak mampu adaptif dengan perubahan/perkembangan zaman," ujar dia.[republika]

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: