DEMOKRASI.CO.ID - Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha (ART), berpendapat bahwa pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo soal bentrok tenaga kerja asing (TKA) China dengan pekerja lokal di kawasan smelter PT GNI, Morowali Utara, Sulawesi Tengah (Sulteng) yang dipicu ajakan mogok kerja hanya berfokus pada perbuatan pidana.
"Ujung-ujungnya, sangat mungkin orang kita sendiri yang nantinya duduk di kursi terdakwa, lalu masuk penjara. Simplistis sekali," ucap Abdul Rachman Thaha dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (16/1/2023).
Senator asal Sulteng itu menyebut jika penyidik punya pemikiran selevel itu, wajar. Namun, terhadap orang nomor satu di Korps Tribrata, dia berharap Jenderal Listyo punya analisis lebih komprehensif.
"Dimensi makro tidak sepatutnya diabaikan. Dari situ akan diperoleh pemahaman lebih utuh mengapa situasi rawan ledakan itu akhirnya benar-benar menjadi letusan dahsyat," tuturnya.
Dia mewanti-wanti, situasi seperti di Morowali itu sangat mungkin terjadi juga di daerah-daerah lain. Itu semua menurut Abdul Rachman, sama sekali tidak terlepas dari misalnya, regulasi dan kebijakan dari pusat hingga daerah yang membuat keadilan dari hari ke hari kian terasa berjarak dari masyarakat.
"Di titik itulah saya merasa perlu mengingatkan Kapolri pada salah satu komitmennya sendiri. Ini komitmen Kapolri, bukan komitmen Polri. Yaitu, problem solving dan restorative justice," tegasnya.
Mantan aktivis HMI itu justru mendorong Kapolri Jenderal Listyo membentuk tim investigasi gabungan lintas keilmuan dan lintas kementerian untuk mendapatkan kesimpulan utuh menyeluruh tentang apa yang terjadi di Morowali.
Dia bahkan menyebut tokoh sekaliber Faisal Basri dan Didik Rachbini sangat layak masuk dalam tim tersebut.
"Penegakan hukum yang sempit, saya yakini, tidak akan menciptakan situasi yang secara hakiki lebih tenteram. Justru memanaskan api dalam sekam," lanjut pria yang beken disapa dengan inisial ART itu.
Di sisi lain, ART memahami sikap Kapolri yang berada langsung di bawah presiden, sehingga menjadikan pemimpin Jenderal Listyo sebagai aparat yang harus menjaga kebijakan kepala negara.
"Termasuk kebijakan yang tidak bijak sekalipun," ucap ART.
Alih-alih Kapolri hadir sebagai penegak keadilan, ART justru dengan perasaan kecewa menyimak pernyataan Jenderal Listyo sebagai penjaga kepentingan keamanan dan politik yang disamarkan lewat bahasa hukum.
"Apa boleh buat, dengan persepsi sedemikian rupa, saya makin sangsi bahwa Polri akan benar-benar mampu menjadi otoritas penegakan hukum yang profesional dan akuntabel," ujar dia.
Terakhir, ART juga mengingatkan Kapolri akan tumpukan pekerjaan rumahnya, sehingga jangan terlalu memusingkan survei tentang citra institusi.
"Pastikan pekerjaan rumah Anda selesai, berikut terealisasinya seluruh komitmen dan program prioritas anda, serta berbagai megaskandal memalukan yang dilakukan oleh para oknum personel Polri," kata Abdul Rachman Thaha.[populis]