
NBCIndonesia.com : #TrenSosial: Wartawan dari BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir, yang melaporkan langsung jalannya persidangan di Den Haag, menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda terkait pengadilan rakyat internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda.
Secara umum, banyak dari Anda (melalui Facebook) bertanya mengapa IPT ini dilakukan di masa pemerintahan Jokowi, bukan di era pemerintahan sebelumnya. Banyak juga yang bertanya, jika tidak ada peran pemerintah Belanda, mengapa harus dilakukan di Belanda?
Ada pula yang bertanya, apa pengaruhnya kepada Indonesia jika keputusan sidang tidak punya kekuatan hukum? Berikut rangkuman tanya jawab yang kami dilakukan di Facebook:
Aldi Rahmayadi: Apa perlu pengadilan di Belanda, sehingga seolah-olah hukum di Indonesia tidak bisa tangani kasus ini. Sangat disayangkan saja, terlihat hanya demi kepentingan kelompok, membunuh makna hukum di Indonesia.
Rohmatin Bonasir: Ini adalah Pengadilan Rakyat Internasional bentukan sejumlah aktivis, akademisi dan juga kelompok penyintas pergolakan tahun 1965-1966, bukan pengadilan resmi. Menurut penyelenggara, sidang diadakan untuk membuka "kebisuan" yang selama ini terjadi di Indonesia terkait peristiwa itu. Dan di Indonesia sendiri, kasus itu belum pernah sampai ke pengadilan sejauh ini, walaupun Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ke Kejaksaan Agung tahun 2012. IPT 1965 digelar di Belanda mungkin karena ada sejumlah aktivis dan akademisi yang melakukan penelitian tentang kasus itu. (Dan para pemrakarsanya memang para warga Indonesia yang bermukim di Belanda. Mereka sempat berencana untuk menyelenggarakan di Jenewa, tetapi terlalu rumit dari segi logistik dan pembiayaan.)
Novita Sari: Apa kemungkinan yang akan terjadi di Indonesia jika kebenaran kasus 1965 terungkap? Dampak positif dan negatif apa yang kemungkinan akan timbul dari hasil sidang ini?
Rohmatin Bonasir: Apapun hasil sidang ini tidak akan mengikat Indonesia karena sifatnya adalah pengadilan rakyat, tidak menginduk ke lembaga resmi misalnya PBB. Ini perlu dibedakan dengan Mahkamah Kejahatan Perang atau Mahkamah Pidana Internasional yang keputusannya wajib dilaksanakan. Adapun keputusan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 hanya berupa rekomendasi. Yang jelas, kesaksian para penyintas secara gamblang disimak oleh tujuh hakim internasional dan diberitakan secara luas.

Moen Dec: Upaya-upaya apa selanjutnya yang akan ditempuh jika pemerintah tetap mengacuhkan sidang ini?
Rohmatin Bonasir: Di akhir sidang panel hakim akan mengeluarkan keputusan yang dikatakan berupa rekomendasi untuk pemerintah Indonesia tentang langkah-langkah yang perlu ditempuh.
Tetapi pemrintah Indonesia tidak punya kewajiban untuk merealisasikannya. Mengenai apa yang selanjutnya akan ditempuh, penyelenggara mengatakan akan menyerahkan hasil sidang ini ke Dewan HAM PBB sebagai bahan pertimbangan.
Even Gunsi: Jika penuntut dimenangkan oleh Pengadilan Rakyat di Den Haag, apakah efek langsung bagi Indonesia? Siapakah yang menjadi sasaran langsung?
Rohmatin Bonasir: Beberapa nara sumber mengatakan bahwa keputusan sidang, walaupun tidak mengikat, bisa menjadi penekan bagi Indonesia untuk mengungkap kebenaran dan menyelesaikan persoalan masa lalu. (Dan sejauh ini beberapa kesaksian mengungkap detil yang belum pernah diketahui sebelumnya.) Namun dalam dakwaan disebutkan yang menjadi sasaran langsung adalah negara.

Iryanti Pratiwi: Pertanyaan saya... kenapa baru (di masa) Presiden Jokowi sidang ini muncul? Zaman Suharto atau SBY saya belum pernah dengar ada sidang ini?
Rohmatin Bonasir: Berdasarkan informasi yang dihimpun BBC, penyelenggara menggagas IPT ini sekitar 1,5 tahun lalu (sebelum pemilu presiden berlangsung), ketika dirasa ada kebuntuan di dalam negeri untuk menuntuskan persoalan itu. Mungkin Anda sudah mengetahui bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM diserahkan ke Kejaksaan Agung tahun 2012 dan di dalamnya disebutkan bahwa patut diduga terjadi pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan selama pergolakan politik tahun 1965-1966. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut.
Iqbal Ashari: Sidang tidak mempunyai kekuatan hukum?
Rohmatin Bonasir: IPT tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, walaupun prosesnya sama dengan sidang resmi dan ada hakim, jaksa, saksi dan panitera.
Rel Tak BerTuan: Apakah dari kedua belah pihak dihadirkan?
Rohmatin Bonasir: Menurut penyelenggara, pemerintah Indonesia juga diundang menghadiri sidang IPT 1965 melalui KBRI di Den Haag, Belanda. Namun tak ada satu pun perwakilan Indonesia yang hadir dan pemerintah menegaskan sudah mempunyai mekanisme sendiri menuju rekonsiliasi. Ada 10 saksi yang dihadirkan, termasuk penyintas yang mengaku mengalami kekerasan seksual, penyiksaan, pemenjaraan, penghilangan paksa dan penganiayaan.

Ashadi Rusdin: Apakah ini hanya langkah awal untuk mendesak pemerintah meminta maaf pada PKI?
Rohmatin Bonasir: Penyelenggara mengaku salah satu tujuan penyelenggaran sidang adalah membuka kebisuan yang selama ini dianggap terjadi di Indonesia mengenai peristiwa itu. Adapun para korban menginginkan kebenaran terungkap, misalnya apa yang sebenarnya terjadi dengan sanak saudara mereka yang hilang sampai sekarang, mengapa mereka disiksa dan dipenjara, padahal menurut pengakuan mereka, mereka tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Dalam sidang sejauh ini, tidak terungkap desakan agar pemerintah meminta maaf pada PKI.
Jade Sinaga: Seandainya PKI adalah korban genocide, apakah yang akan menjadi tuntutan para korban? Dan bagaimana kira-kira respon pemerintah Indonesia?
Rohmatin Bonasir: Para korban yang hadir di sidang bersitegas bukan anggota PKI, justru mereka bertanya mengapa dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dan mengalami stigmasisasi sampai sekarang. Sebagian penyintas, seperti seorang ibu dari Yogyakarta, mengaku mengalami penyiksaan berat dan bahkan kekerasan seksual karena dituduh anggota Gerwani sedangkan ia mengaku sudah berkali-kali membantah hal itu dalam pemeriksaan tahun 1965.
Mereka ingin kebenaran diungkap dan negara bertanggung jawab. Pemerintah Indonesia sudah menegaskan Pengadilan Rakyat Internasional adalah bagian dari kebebasan berbicara dan menegaskan sudah menempuh langkah-langkah untuk rekonsiliasi. Pemerintah Indonesia juga tidak mengirim wakil ke sidang ini atau saksi-saksi yang mewakili pemerintah.
