![]() |
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi |
"Menlu Retno Marsudi harus mempertajam klarifikasinya karena klarifikasi yang kemarin terkesan hanya basa-basi. Harusnya, Menlu Retno menunjukkan fotokopi surat undangan Presiden Obama," ujar Sekjen Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Sya'roni kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu (Senin, 9/11).
Menuru Sya'roni, hal itu penting dilakukan Menteri Retno karena Michael Buehler menunjukkan dokumen perjanjian antara Pereira International PTE dengan R&R Patners Inc sebagai dalil informasinya. Buehler mengatakan dokumen diperoleh dirinya dari Departemen Kehakiman AS.
Bahkan, dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia, Buehler menegaskan bahwa semua dokumen yang dimilikinya valid.
"Kalau sekedar basa-basi tentu publik akan lebih mempercayai artikel yang ditulis oleh Buhleur. Karena derajat keterpercayaan seorang akademisi masih lebih tinggi dari birokrasi," kata Sya'roni.
"Apalagi Michael Buehler adalah seorang pengajar Ilmu Politik Asia Tenggara di University of London. Jadi sulit sekali menuduhnya memiliki kepentingan tertentu dengan mengangkat artikel "Waiting in the White House Lobby". Apalagi artikel yang dibuat sesuai dengan bidangnya," sambung Sya'roni.
Selain itu, katanya, Menlu Retno juga harus menjelaskan mengenai keberhasilan ditandatanganinya 18 perjanjian dengan nilai 20 miliar dolar AS hasil pertemuan tersebut. Angka tersebut sungguh sangat fantastis yang jika dirupiahkan senilai dengan Rp 260 triliun.
"Angka sebesar itu tidak mungkin disepakati secara mendadak hanya dari surat-menyurat atau pertemuan Menlu Retno dengan Menlu AS John Kerry. Menlu Retno harus membeberkan investasi apa saja yang disetujui beserta nilainya. Kalau hanya disebut secara global 20 miliar dolar AS saja, publik akan bertanya-tanya tentang kebenarannya," kata Sya'roni.
Dia membandingkan, secara sederhana proyek Jembatan Suramadu hanya butuh Rp 4,5 triliun dan proyek Bandara Kuala Namu cuma menghabiskan Rp 5,8 triliun.
"Kalau tidak ada penjelasan Rp 260 triliun itu untuk apa, dikhawatirkan publik akan membuat imajinasi sendiri," tukas Sya'roni.(rmol)