![]() |
Rieke Diah Pitaloka. [Antara] |
Dari hasil rapat itu, para anggota Pansus menjadi makin yakin bahwa memang ada kesengajaan personal dari direksi Pelindo II. Yakni dalam melanggar aturan perundang-undangan sehingga merugikan negara dalam perpanjangan kontrak pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT).
Hal itu diungkapkan oleh Anggota Komisi V DPR RI, Nizar Zahro, Rabu (25/11).
"Dari hasil rapat Pansus dengan Tjipta Lesmana, banyak ditemukan pemahaman yang sama seperti yang disampaikan Tjipta Lesmana. Dari beberapa dialog yang dilakukan, ada banyak pelanggaran yang dilakukan Pelindo II, yang dilakukan secara personal atau pribadi ataupun yang dilakukan secara kelembagaan," jelas Nizar.
Dia lalu membaginya ke tiga poin.
Pertama, adalah melanggar sumber hukum yang telah ditetapkan di UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di urutan teratas, adalah UUD 1945 khususnya asal 33 Ayat 1, yang menekankan 'cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Lalu Ayat 2 yang menegaskan bahwa 'bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat'.
Kedua, prinsip di UUD 1945 diturunkan ke UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Dimana Pasal 34, disebutkan pengelolaan pelabuhan harus menggunakan konsensi.
Hal itu sebagai wujud aset pelabuhan 'dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.'
Kata Nizar, tiga tahun setelah diundangkan, maka PT Pelindo I hingga IV harus menyesuaikan semua kontrak dan operasinya dengan UU 17 Tahun 2008 itu.
Pemerintah juga memisahkan bahwa regulator adalah otoritas pelabuhan di bawah Kementerian Perhubungan, dan operatornya adalah Pelindo sebagai badan usaha pelabuhan.
Di tingkat ketiga, ada PP Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kepelabuhanan. Di Pasal 74, sebagai turunan kedua aturan sebelumnya, ditegaskan bahwa pemberian konsesi, 'dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melalui penugasan/penunjukan'.
"Yang teknis ini baru dilakukan oleh pihak Pelindo II pada 11 November lalu. Secara tidak langsung pihak Pelindo II barusan mengakui kesalahannya karena telah memperpanjang kontrak dengan pihak HPH pada tahun 2014, sebelum konsesi ditanda tangani," jelas dia.
Setelah dari sisi aturan ketahuan bahwa Direksi Pelindo II yang dipimpin RJ Lino melanggar aturan, Pansus masuk ke analisa keuangan. Ditemukan juga ada 'pemelintiran substansi komunikasi' oleh pihak Pelindo II terkait kontrak pengelolaan JICT dengan perusahaan milik pengusaha asing Li Ka Shing, Hutchinson Port Holding (HPH).
Oleh pihak Lino, disebut bila kontrak awal HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat US$ 200-an juta. Apabila tidak diperpanjang, dinilai Indonesia harus mengembalikan ke HPH sebesar US$ 400-an juta.
Asumsi itu muncul karena dihitung bahwa nilai aset JICT pada 2019 adalah US$ 800 juta. 51 persen saham JICT adalah milik HPH dan itu senilai US$ 400 juta.
"Padahal sebenarnya, di kontrak yang diteken 1999, jelas tertulis, bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia hanya wajib mengembalikan US$ 50-60 juta. Jadi bukan US$ 400 juta dolar," jelas Nizar.
"Meskipun logika awal diikuti, tetap saja Indonesia merugi. Praktiknya, Pelindo II hanya mendapat fee di muka US$ 215 juta. Artinya, aset total hanya dinilai US$ 400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai US$ 200 juta," tambah dia.
Bagi Nizar, sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara itu jika mau berpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar US$ 50-60 juta.
Namun yang dilakukan justru memperpanjang kontrak hingga 2038 dengan hanya memperoleh US$ 215 juta.
"Sementara pihak asing mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kalau seandainya kontrak tak dilanjutkan, Indonesia hanya membayar US$ 50-60 juta sesuai kontrak 1999, dan mendapat 100 persen kepemilikan pada 1999," kata Nizar.
Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka, menambahkan pihaknya menilai salah satu hasil penting pertemuan dengan Tjipta Lesmana adalah perlunya membentuk tim investigasi independen.
Tim itu nantinya akan bertugas membantu pemeriksaan kerugian negara dan korupsi yang dilakukan para Pelindo II.
"Usulan Tjipta Lesmana tersebut akan patut dipertimbangkan karena itu Pansus akan membahasnya secara internal," kata Rieke.(BS)