![]() |
Derwin Pereira. Photo: The Straits Times |
Derwin Pereira mencuat, setelah seorang Akademisi Michael Buehler menulis artikel berjudul Waiting in the White House lobby di situs New Mandala Jumat (06/11). Dalam artikel tersebut disebutkan, Derwin membayar USD80 ribu atau sekitar Rp 1.093.680.000 ke Konsultan Public Relation asal Las Vegas, R&R Partners. Tujuannya untuk membantu pemerintah Indonesia melobi pemerintah AS.
Dalam artikel itu disebutkan, Derwin membawa bendera Pereira International PTE LTD, sebuah firma lobi Internasional miliknya yang berbasis di Singapura. Dalam kontrak disebutkan, Derwin menggelontorkan uang USD80 ribu lewat konsultan perempuan R&R, Morgan Baumgartner dan konsultan lainnya Sean Tonner. Pembayaran dilakukan dalam empat termin sejak 15 Juni 2015 hingga 1 September 2015.
Selain pertemuan dengan Presiden Barack Obama, dalam kontrak disebutkan R&R Partners bertugas mengatur pertemuan Presiden Joko Widodo dengan anggota Kongres dan cabang eksekutif termasuk Departemen Luar Negeri; Mengidentifikasi dan bekerja dengan individu yang berpengaruh, media, organisasi publik dan swasta dan afiliasinya di AS untuk mendukung upaya Presiden Widodo.
Tak hanya itu, R&R Partner juga akan mengkomunikasikan pentingnya Republik Indonesia ke Amerika Serikat pada bidang keamanan, perdagangan, dan ekonomi.
Kerjasama Pereira dengan R&R patut menjadi pertanyaan, sebab konsultan R&R tak memiliki pengetahuan tentang Indonesia. bahkan, Baumgartner tidak pernah punya pengalaman "bersentuhan" dengan Indonesia. Baumgartner selama ini dikenal sebagai ahli di bidang perangkat hukum soal perjudian. "Gaming Law". Sedangkan konsultan R&R Partner lainnya, Sean Tonner dikenal sebagai konsultan ahli strategi perang di hutan dan Padang Pasir.
Lantas siapa sebenarnya Derwin Periera sehingga memiliki jaringan untuk menjalin kontrak dengan R&R Partners sebagai "kepanjangan" tangan pemerintah Indonesia?
Dalam artikelnya, Michael Buehler menjelaskan jejak panjang Derwin di Tanah Air. Firma lobi Periera International memiliki banyak klien di Indonesia.
Pereira menjejakan kaki di indonesia segaia kepala biro harian Singapura The Straits Times di Indonesia di tahun 1990an. Periera juga pernah menjadi kontributor The Washington Post untuk Indonesia.
Kiprahnya sebagai jurnalis patut diacungi jempol. Dia pernah melakukan wawancara eksklusif dengan sejumlah tokoh dunia, termasuk mantan presiden Amerika Serikat George W Bush, dan mantan menteri Luar Negeri Condooleza Rice. Untuk, Indonesia, dia pernah mewawancarai hampir seluruh presiden yang menjabat pasca kejatuhan Soeharto, mulai dari BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, Abdurahhman Wahid, dan Susilo Bambang Yudhoyono semuanya pernah diwawancarainya.
Usai menjadi jurnalis di dua media internasional itu, barulah Pereira mendirikan Firma Konsultan Pereira Internasional. Pria bergelar Master lulusan Harvard ini memang memiliki spesialisasi khusus di bidang konsultan komunikasi untuk Indonesia. Hampir seluruh elite politik Indonesia mengenalnya.
Pereira dikenal sangat dekat dengan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan. Kedekatan keduanya diawali pada tahun 1999. Saat itu, Luhut menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Singapura 1999-2000. Pereira kerap mewawancarai Luhut. Kedekatan keduanya bisa dilihat di situs Pereira yang menggunakan foto Luhut.
Jejak Pereira yang lain di Indonesia adalah, upayanya membawa beasiswa ke tanah air. Dia yang mendanai Derwin Pereira Graduate Fellowship, di mana salah satunya adalah program beasiswa Edward Mason.
Program tersebut menyeleksi anak muda Indonesia untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan. Di Indonesia beasiswa itu ditangani oleh Ancora Foundation, yayasan milik mantan menteri perdagangan Gita Wirjawan. Salah satu anak muda Indonesia yang pernah memperoleh beasiswa Edward Mason adalah putra presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harymurti.
Rekam jejak Pereira juga bisa dilihat saat dia mensponsori Derwin Pereira Indonesia Initiative (DPII) sejak 2012. Lewat program itu Pereira memboyong, ahli dan peneliti politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) untuk menjadi pembicara di Washington DC, Amerika Serikat.(rmn)