![]() |
Ilustrasi |
“Orang yang berbicara karena sebuah ekspresi terhadap kondisi saat ini tidak bisa dihukum. Justru Presiden seharusnya berterima kasih lantaran ada warga negara Indonesia yang mau mengingatkannya. Ini membela Presiden, jangan dibuat jadi pidana,” jelas guru besar Fakultas Hukum Universitas Tandulako, Zainuddin Ali, kepada wartawan, Jumat (25/12/2015).
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini mengatakan penggunaan kata paha dan lon** dalam kalimat yang digunakan Ongen tidak termasuk unsur pornografi. Apalagi dua kata itu sudah lazim digunakan dan sudah menjadi kata umum di masyarakat.
“Memang ada unsur kesengajaan atas perbuatannya. Tetapi tidak ada bentuk unsur pidana penghinaan maupun pornografi dalam perbuatannya itu,” tandasnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi menambahkan, bila ditemukan adanya unsur kesalahan dalam proses penyidikan terhadap pelaku, pihak kuasa hukum bisa mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polri.
Jika dalam penyidikan semua unsur pidana teryata tak terpenuhi, pihak kuasa hukum bisa memohon penghentikan perkara (SP3),” kata dia.
Sementara itu, kuasa hukum Ongen, Suhardi Somomoeljono akan mengkaji upaya hukum pengajuan gugatan praperadilan terkait penetapan status tersangka kliennya. “Alangkah baiknya pihak Polri mengambil keputusan bijaksana demi kepentingan bangsa dan negara,” tandasnya.
Seperti diketahui, Ongen dikenakan pelanggaran tindak pidana penyebaran konten pornografi sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf e jo Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman pidana penjara minimal enam bulan dan paling lama 12 tahun serta denda antara Rp 250 juta hingga Rp 6 miliar.
Tersangka Ongen juga dikenakan Pasal 27 ayat (1) jo pasal 45 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.(ok)