![]() |
Ilustrasi Freeport (Istimewa) |
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, jika pemerintah Indonesia memutuskan membeli saham tersebut, uang yang dikeluarkan akan mubazir bila kontrak karya FI tidak diperpanjang tahun 2021. Jadi, pemerintah harus berhati-hati, jangan sampai sudah keluar uang namun nanti kontrak pengelolaan tambang Timika tidak diperpanjang.
Pemerintah juga diminta untuk menunggu revisi UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akan rampung tahun ini. UU hasil revisi nantinya bisa menjadi payung hukum yang kuat mengenai keputusan menyetop atau memperpanjang kontrak karya (KK) FI pascakontrak berakhir 2021.
Berdasarkan PP No 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, FI wajib melakukan divestasi dengan melepas total 20% saham paling lambat 14 Januari 2016 kepada pihak Indonesia dan pada 2019 melepas lagi sebanyak 10% saham.
Lantaran pemerintah RI sudah memiliki 9,36% saham, maka tahun ini hanya diwajibkan divestasi sebesar 10,64%. FI hanya diwajibkan melakukan total divestasi 30% saham hingga 2019, karena perusahaan tambang emas yang termasuk terbesar di dunia ini melakukan kegiatan tambang bawah tanah (underground). PP juga mengatur bahwa FI hanya bisa mengajukan permohonan perpanjangan kontrak paling cepat 2 tahun atau paling lambat 6 bulan sebelum kontrak berakhir pada 2021.
Direktur Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS) Budi Santoso mengatakan, sikap pemerintah terhadap divestasi menjadi indikator soal kepastian perpanjangan operasi pascakontrak Freeport berakhir 2021. Apabila pemerintah membeli saham FI, mau tidak mau, perpanjangan kontrak operasi tambang Timika di Papua itu harus diberikan.
"Pemerintah kan harus mempertimbangkan, jangan sampai lima tahun itu belum balik modal. Akhirnya, pemerintah terpaksa memperpanjang operasi Freeport," kata Budi kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (19/1).
FI menyampaikan penawaran penjualan 10,64% sahamnya dengan harga US$ 1,7 miliar (Rp 23,6 triliun) kepada pemerintah pada 13 Januari lalu, sehari sebelum deadline 14 Januari 2016 sesuai Peraturan Pemerintah No 77 Tahun 2014. Tawaran ini disampaikan di saat perusahaan induk FI di Amerika Serikat, Freeport-McMoRan, harga sahamnya anjlok akibat tidak kunjung diperolehnya perpanjangan kontrak tambang Timika dari pemerintah Indonesia dan salah perhitungan dalam membeli perusahaan minyak.
Rugi Beli Saham Freeport
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, harga saham Freeport-McMoRan sudah anjlok sekitar 93%. Harga saham berkode FCX itu tinggal US$ 4,34 per unit, Jumat pekan lalu, padahal pada kurun waktu 2010-2011 pernah mencapai US$ 60 per lembar.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menjelaskan mengapa kondisi Freeport-McMoRan begitu buruk, tidak seperti yang umumnya dibayangkan orang Indonesia. Padahal, Freeport terus-menerus mengambil emas dari perut bumi Papua.
“Itu lebih karena Freeport-McMoRan terbelit ambisinya sendiri yang luar biasa. Pada 2013, Freeport tidak hanya ingin menjadi raja tembaga dan emas, ia juga ingin menjadi raja minyak dengan cara kilat,” kata Dahlan Iskan dalam tulisan yang dipublikasikan, Senin (18/1).
Freeport-McMoRan membeli perusahaan minyak terbesar keempat di California, Plains Company, dengan harga US$ 16,3 miliar atau sekitar Rp 200 triliun. Ini termasuk untuk mengambil alih utang Plains sebesar US$ 9,7 miliar.
“Harga mahal itu diterjang karena Plains memproduksi minyak mentah yang sangat besar. Namun sial sekali, begitu transaksi ditandatangani, harga minyak mentah terjun bebas dari US$ 80 per barel menjadi US$ 40-an,” paparnya.
Harga Kemahalan
Mengenai harga saham FI yang ditawarkan kepada pemerintah Indonesia, Budi menilai terlalu mahal. Menurut dia, nilai 10,64% saham Freeport seharusnya tidak sebesar US$ 1,7 miliar jika mengacu pada mekanisme replacement cost atau biaya penggantian atas investasi. Replacement cost diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham serta Perubahan Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam beleid itu dinyatakan, harga divestasi saham ditetapkan berdasarkan investasi yang dikeluarkan sejak tahap eksplorasi hingga tahun kewajiban divestasi. Investasi itu dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan amortisasi yang didasarkan atas umur ekonomis.
Berdasarkan formula perhitungan tersebut, maka harga 100% saham Freeport sebesar US$ 7,3 miliar. Nilai itu sudah memasukkan gedung, pabrik, jalan, dan aset tidak bergerak lainnya. Sedangkan cadangan tembaga, emas, dan perak di tambang FI tidak dimasukkan dalam formula perhitungan nilai saham.
“Artinya, nilai 10,64% saham yang ditawarkan Freeport seharusnya sekitar US$ 730 juta, bukan US$ 1,7 miliar. Mekanisme nilai pasar dalam menentukan harga saham menyalahi ketentuan dalam kontrak karya, karena memasukkan cadangan mineral tambang. Padahal, dalam kontrak karya dinyatakan mineral bukan milik perusahaan tambang, sebelum kewajiban seperti royalti dibayarkan ke pemerintah,” tandas dia.
Sementara itu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasih mengatakan, harga 10,64% saham yang ditawarkan PT Freeport Indonesia US$ 1,7 miliar tidak wajar. "Nilai divestasinya itu tidak sesuai nilai kewajaran (fair value). Jika pun dipaksakan, divestasi dengan harga tersebut harus dibarengi dengan transfer teknologi, mengingat pengelolaan tambang tersebut membutuhkan teknologi yang kuat," kata dia di Jakarta, Selasa (19/1).
Sikap Menteri BUMN
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan, harga 10,64% saham divestasi PT Freeport Indonesia US$ 1,7 miliar cukup tinggi, jika memperhitungkan kondisi harga komoditas emas yang tengah melemah. Itulah sebabnya, lanjut dia, pihaknya menunjuk dua sekuritas BUMN, PT Danareksa (Persero) dan PT Mandiri Sekuritas (Persero), untuk mengevaluasi penawaran yang disampaikan FI. Penilaian saham divestasi ini bisa berdasarkan nilai kekinian (present value), nilai aset pembukuan (book value asset), atau dihitung berdasarkan harga cadangan tembaga (copper) dan emas yang dimiliki Freeport.
“Kalau berdasarkan cadangan, mengingat saat ini harga copper sedang jatuh, harga penawaran US$ 1,7 miliar itu terlalu tinggi. Kami masih mengevaluasi berapa harga yang pantas untuk divestasi Freeport tersebut,” ujar dia di Jakarta, Selasa (19/1).
Rini menambahkan, BUMN sudah menyatakan ketertarikan untuk menyerap saham divestasi Freeport sesuai peraturan yang berlaku. BUMN tambang, khususnya emiten tambang, dinilai perlu memiliki tambang-tambang besar di negara sendiri.
Rini menjajaki untuk menunjuk konsorsium BUMN tambang guna menyerap saham Freeport. Konsorsium tambang tersebut adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
“Pihak BUMN bersama pemerintah masih perlu berdiskusi bagaimana aksi selanjutnya terkait proses divestasi Freeport. Jika memang ada instruksi selanjutnya, kami akan melihat posisi balance sheet masing-masing perusahaan itu. Sekarang, yang punya kas cukup adalah Inalum. Bukit Asam juga punya balance sheet kuat. Sedangkan Antam sedang punya proyek dengan investasi besar,” kata Rini.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM Said Didu mengakui divestasi FI berkaitan dengan perpanjangan operasi Freeport pasca 2021. Jika pemerintah membeli 10,64% saham FI tapi kemudian tidak ada perpanjangan operasi bagi Freeport, maka menjadi polemik.
“Namun, jika pemerintah tidak membeli saham tapi Freeport diberi perpanjangan operasi, ini pun menjadi masalah. Jadi, saya sarankan keputusan itu ditentukan oleh presiden lewat sidang kabinet, karena ini pertimbangan subyektif sikap politik," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah lebih baik membeli saham tersebut. Apabila tidak ada perpanjangan operasi bagi Freeport pasca 2021, maka pemerintah setidaknya tetap memiliki 20% aset dari tambang di Papua. Hanya saja, pembelian saham itu harus dilakukan dengan harga yang wajar, yakni tidak memasukkan cadangan mineral dalam komponen perhitungan nilai saham. Harga cukup didasarkan pada jumlah investasi yang digelontorkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
"Kalau kontrak Freeport tidak diperpanjang, kita punya 20% aset di sana. Dengan 20% ini, untuk melanjutkan operasi hanya butuh investasi 80% lagi," ujarnya. (bs)