![]() |
Joko Widodo (Jokowi) saat mengunjungi korban lumpur Lapindo Sidoarjo Jawa Timur saat kampanye Pilpres 2014 lalu. | ist |
"Pemerintah mesti peka dengan trauma penderitaan warga Sidoarjo atas kejadian luapan lumpur yang terjadi sebelumnya," kata Pengamat energi UGM Fahmy Radhi di Jakarta, Senin (11/1/2016).
Menurut dia, apa pun argumentasinya, Presiden Jokowi terlalu berisiko dengan kembali memberikan izin eksplorasi kepada Lapindo. Semburan lumpur panas yang pertama kali muncul 29 Mei 2006 dan hingga kini terus aktif itu, telah menenggelamkan lebih dari 400 hektare lahan berisi rumah, pabrik, sekolah, tempat ibadah, kuburan, dan jalan tol Surabaya-Malang, hingga memicu kerugian puluhan triliunan rupiah.
"Mengingat trauma penderitaan rakyat Sidoarjo yang berkepanjangan, dan kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah itu, pemerintah seharusnya tidak memberikan izin pengeboran jilid kedua di Sidoarjo kepada Lapindo," kritik Fahmy.
Fahmy bahkan meminta pemerintah Jokowi mencabut izin Lapindo Brantas mengebor migas di seluruh Indonesia, sebagai hukuman atas kecerobohan perusahaan ini sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi perusahaan lain.
Diakui Fahmy, Lapindo Brantas memang ikut membiayai relokasi penduduk yang terkena dampak luapan lumpur, namun pembayaran ganti rugi itu tersendat-sendat di mana masih ada warga di area terdampak yang belum mendapatkan kompensasi.
"Adanya hukuman diharapkan dapat mencegah malapetaka serupa tidak terjadi lagi di Tanah Air," tandas peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM itu.
Sebelumnya, Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja sendiri mengaku sudah berkoordinasi dengan SKK Migas untuk menghentikan rencana pengeboran sumur gas oleh Lapindo di Sidoarjo. "Perlu direevaluasi keamanan, baik dari sisi aspek geologi maupun sosial," kata dia.
Rabu pekan lalu Lapindo Brantas Inc melakukan sejumlah persiapan pengeboran di Desa Kedung Banteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, yang kemudian ditolak warga setempat. (rn)