
NBCIndonesia.com - Edan ! ada partai yang lebih mementingkan dukungan kepada Ahok dan siap kehilangan kadernya ! Partai ini justru mengintimidasi kadrnya untuk mundur dari partainya jika tidak mendukung Ahok. Ini tentu saja mengindikasikan adanya otoriterisme dalam partai yang dilakukan oleh oknum partai tersebut. Bukankah semestinya suara paratai adalah suara anggotanya karena partai dibentuk oleh anggota ? Ataukah partai itu milik oknum tertentu sehingga kalau tidak sejalan dengan kehendak sang oknum maka silakan tinggalkan partai ? fenomena partai politik yaang demikian sungguh mengindikasikan adanya partai politik yang bukan sejatinya partai politik.
Pertanyaannya adalah, seberapa penting Ahok di mata oknum partai tersebut ? Begitu sentraalkah Ahok dalam urutan prioritas oknum partai untuk didukung, sehingga partai rela kehilangan para kader pendukungnya yang sesungguhnya sangat membahayakan eksistensi partai itu sendiri. Dimana aturan main, mekanisme dan hakekat partai itu sendiri terkait dengan komitmen terhadap kader dan dengan komponen eksterennya ? Kita tentu tentu dapat mencari jawabnya dalam AD/ART dan garis perjuangan partai, namun jawabaan mudahnya dapat kita ungkapkan dengan tidak melihat acuan itu, mendukung Ahok rupanya lebih penting dibanding menjaga sinergi Kader dan partai Politik itu.
Kita tidak tahu alasan pastinya mengapa oknum-oknum partai itu lebih memilih mendukung Ahok dari pada menjaga keutuhan partai dengan mundurnya para kader yang sudah loyal untuk membesarkannya, namun logika umum bisa dikedepankan yang paling mungkin adalah ada keuntungan yanag lebih menggiurkan dengan mendukung Ahok. Keuntungan apa ?
Seperti kita mahfumi bahwa Ahok maju melalui jalur perseorangan dengan didukung oleh para cukong, hal ini sudah bukan menjadi rahasia lagi. Awalnya Ahok begitu yakin dengan dukungan itu yang dimainkan oleh kelompok yang disebut Perkumpulan Teman Ahok, yang kita bisa melihat kredibilitasnya melalui berbagai publikasi dan situs resminya. Keingintahuan berbagai pihak akan apa sesungguhnya yang terjadi dengan Ahok yang begitu yakin dengan Teman Ahok, mengakibatkan banyak pihak mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi dengan pecalonan Ahok yang terkesan "menyepelekan peran partai politik" yang sesungguhnya telah membesarkan Ahok sendiri.
Ahok yang tidaka terpilih pada pemilihan gubernur propinsi Bangka Belitung, mendapatkan promosi yang sangat menguntungkan dengan dibawa Gerindra ke Jakarta untuk disandingkan dengan Cagub DKI dari partai besar PDI Perjuangan, sehingga berhasil menjadi DKI 2. Dan dengan promosi Jokowi menjadi presiden, Ahok mendapat durian runtuh naik menjadi DKI 1, meski banyak kalangan yang keberatan ia memimpin DKI terkait aqidah dari sebagain kaum muslimin yang meyakini bahwa pemimpin harus dari kalangan kaum seiman.
Dengan demikian Ahok naik menjadi wagub dan kemudian gubernur DKI paling tidak secara institusi kepartaian atas jasa dua partai politik yakni Gerindra dan PDI Perjuangan. Sudah selayaknyaa sebagai pihak yang dipercaya oleh kedua partai itu, harus menjalankan amanah kepemimpinannya secara baik. Namun dengan "menanjaknya nama Ahok", Ahok seolah menjalankan kepemimpinan DKI 1 adalah menjalankan aktivitasnya sendiri, tidak terkait dengan amanah kepartaian. Bhakan dengan "congongnya" Ahok justru menampar partai-partai pengususngnya dengan ungkapan "Partai tidak menysejahterakan rakyat", unhkapan itu diartikan sebagai Deparpolisasi yang dilakukan oleh Ahok.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan banyak pihak yang mengetahui bukti mengapa Ahok berani dengan apa yang dilakukan, dan siapa di balik itu semua, menjadikan arus balik dukungan dari mendukung ke Ahok ke melupakan Ahok, atau mendukung calon lain. Lampu redup teman Ahok makin terlihat dengan indikasi booth booth yang didirikan di Mall-Mall terlihat kurang mendapat sambutan yang diharapkan` Kita dapat melihat di sosial media, hari-hari ini banyak diupload form-form dukungan tunggal, dan sepinya "counter Teman Ahok" dari pengunjung (penulis amati dari twitter dan facebook). Keredupan ini tentu saja membuat Ahok yang tipikal emosional menjadi panik.
Kepanikan Ahok ditunjukan dengan berbagai manuver yang Ahok lakukan dengan mendatangi berbagai partai politik, yang sesungguhnya langkah itu merupakan"jilat ludah sendiri", meskipun disertai dengan argumentasi bahwa Ahok tidak bermaksud Deparpolisasi. Sudah barang tentu dengan semakin membutuhkannya Ahok mendapat dukungan dari partai politik, maka partai politik pun memasang bargaining yang tidak murah. Oleh karena itu istilah mahar ratusan milyar bagi "oknum partai politik" sangat mungkin dilakukan. Dan begitu menggiurkannya uang ratusan milyar itu.(ks)