logo
×

Sabtu, 26 Maret 2016

Kadaulatan Maritim Indonesia Diusik Tiongkok

Kadaulatan Maritim Indonesia Diusik Tiongkok

NBCIndonesia.com - Ketegangan yang terjadi di perairan Laut China Selatan belum ada tanda-tanda mereda, bahkan justru menunjukkan peningkatan sejak Tiongkok melakukan pembangunan pulau buatan di perairan yang disengketakan sejumlah negara itu.

Meskipun bukan negara yang terlibat sengketa (claimant state) di perairan strategis yang dilalui kapal pengangkut komoditas perdagangan yang nilainya mencapai 5 triliun dolar AS per tahun, Indonesia tetap terkena dampak.

Apalagi salah satu wilayah terluar Indonesia, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, berbatasan langsung dengan wilayah sengketa. Pulau yang luasnya 2.009,04 kilometer persegi itu juga menyimpan cadangan minyak bumi sekitar 1,4 miliar barel dan gas bumi 112,35 miliar barel sehingga sangat rentan menghadapi ancaman dari pihak luar.

Belum lagi dengan potensi sumber daya perikanan laut yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36 persen tentu sangat menggoda negara-negara lain yang infrastruktur sektor perikanannya lebih maju.

Salah satu buktinya adalah insiden tepergoknya Kapal Motor Kway Fey 10078 berbendera Tiongkok saat melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Natuna, Sabtu (19/03/2016).

Kementerian Kelautan dan Perikanan mendeteksi kapal nelayan Tiongkok pada hari itu pukul 15.14 WIB berada di koordinat 5 derajat lintang utara dan 109 derajat bujur timur yang merupakan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.

Insiden itu berbuntut protes resmi dari pemerintah Indonesia karena upaya penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi oleh kapal patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok.

"Hari kemarin itu, kami merasa seperti diinterupsi dan disabotase," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Minggu, yang sehari kemudian diikuti dengan protes resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia terhadap pemerintah Tiongkok.

Dua hari berselang kedaulatan maritim nasional kembali terusik. Dua kapal nelayan Taiwan, MV Sheng Te Tsai dan MV Lien I Hsing-116 diduga melakukan aktivitas ilegal di Selat Malaka, Senin.

Kapal tersebut ditembaki oleh kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi di dekat garis pantai Provinsi Aceh itu.

Namun pemerintah Taiwan berancang-ancang akan melayangkan protes atas tindakan kapal patroli KKP, apalagi kedua kapal nelayan tersebut diawaki 18 orang berkewarganegaraan Indonesia.

"Kami sangat menyayangkan terjadinya insiden itu karena selain warga kami, dua kapal tersebut juga diawaki oleh 18 orang berkewarganegaraan Indonesia," ujar salah satu pejabat Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei (TETO) di Jakarta, Kamis (24/3), yang menolak menyebutkan namanya dengan alasan persoalan tersebut masih dalam penyelidikan bersama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Taiwan.

Pejabat yang ditugasi secara khusus untuk meminta klarifikasi resmi dari KKP itu mendapatkan informasi dari pemerintah Taiwan di Taipei mengenai penembakan kedua kapal nelayan yang terdaftar di Kota Liouciou, Kabupaten Pingtung, Taiwan, tersebut.

"Kemudian kami kontak Bakamla (Badan Keamanan Laut) Indonesia. Bakamla menyatakan bahwa kapal patrolinya tidak melakukan penembakan. Demikian juga dengan pihak Angkatan Laut yang sama-sama juga tidak mendapatkan laporan mengenai penembakan yang dilakukan oleh kapal patrolinya," katanya.

Setelah mengontak pihak KKP, pihaknya baru mendapat jawaban untuk mendapatkan penjelasan, Rabu (23/3) sore.

"Ada sedikit penjelasan dari KKP, namun yang kami butuhkan adalah penjelasan resmi karena persoalan ini penting, apalagi di dalam kapal itu ada 18 warga Indonesia," ujarnya sambil menunjukkan rekaman video yang menggambarkan testimoni awak kapal dan beberapa bekas tembakan di beberapa bagian kapal.

Menurut dia, kedua kapal tersebut dalam perjalanan dari Taiwan menuju Singapura untuk menurunkan hasil laut muatannya. "Kedua kapal itu tidak sedang dalam mencari ikan di wilayah Indonesia. Ikan itu dari Taiwan untuk konsumsi di Singapura," katanya.

Namun KKP tetap menganggap bahwa kedua kapal nelayan Taiwan tersebut melakukan tindakan ilegal di wilayah kedaulatan NKRI. "Kapal tersebut tidak memasang bendera dari mana asal negaranya," kata Susi kepada perwakilan Kantor Berita Taiwan CNA di Jakarta, Senin, seraya menegaskan bahwa kedua kapal nelayan Taiwan itu diburu di dalam wilayah teritorial perairan Indonesia.

Negara Tetangga Juga Dilanggar Tidak hanya Indonesia, Malaysia juga berkali-kali mengalami perundungan di wilayah teritorialnya di Laut China Selatan.

Setelah Indonesia melayangkan protes keras kepada Tiongkok, giliran pemerintah Malaysia mengecam keras pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh kapal-kapal nelayan dari negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Sekitar 100 kapal pencari ikan Tiongkok terdeteksi melakukan pelanggaran batas wilayah perairan Malaysia di Laut China Selatan yang disengketakan, demikian pernyataan yang dilansir Badan Keamanan Laut Malaysia di Kuala Lumpur, Jumat.

Hal itu disikapi oleh Menteri Keamanan Nasional Malaysia Shahidan Kassim dengan mengirimkan beberapa peralatan keamanan milik Badan Penegakan Hukum Kemaritiman Malaysia dan Angkatan Laut ke dekat wilayah Luconia Shoals untuk memantau situasi.

Praktiknya sama dengan yang dilakukan di Natuna. Badan Penegakan Hukum Kemaritiman Malaysia juga menemukan kapal-kapal nelayan itu sedang mencari ikan di wilayah yang diklaim Tiongkok dengan pengawalan dua unit kapal keamanan laut Tiongkok.

Sayangnya, Shahidan tidak menyebutkan secara spesifik tipe kapal-kapal China yang terdeteksi melakukan aktivitas terlarang di wilayahnya itu.

Sama dengan insiden di Natuna, Beijing membantah telah melakukan pelanggaran wilayah tersebut. "Saat ini musim ikan di Laut China Selatan ... Sekarang tahunnya, setiap tahun, kapal penarik pukat Tiongkok berada di wilayah perairan yang sah untuk melakukan kegiatan-kegiatan penangkapan ikan secara normal," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hong Lei mengelak.

Tiongkok mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan. Negara-negara yang berdekatan di Asia Tenggara, yakni Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, juga mengklaim wilayah perairan. Demikian pula dengan Taiwan.

Sejak 2014, Tiongkok membangun pulau di atas terumbu karang di Kepulauan Spratly, salah satu gugusan pulau Laut China Selatan yang disengketakan. Setahun kemudian, Negeri Tirai Bambu itu membangun bandar udara di pulau buatan tersebut.

Pembangunan pulau itu segera memicu kekhawatiran mengenai niat Beijing mengubah wilayah sengketa yang kaya kandungan mineral tersebut menjadi pangkalan militer sehingga dapat berujung pada ketegangan dengan negara-negara lain.

Terkait perselisihan di Laut China Selatan, posisi Indonesia sangat strategis karena beberapa kali telah memfasilitasi pembicaraan perdamaian. Dan, tidak sedikit pula negara-negara yang terlibat sengketa meminta bantuan Indonesia sebagai penengah.

"Indonesia tidak terlibat dalam persaingan klaim di Laut China Selatan dan malah bertindak sebagai penengah yang jujur (the honest broker)," demikian Kantor Berita Reuters menyebut peran Indonesia dalam sengketa berkepanjangan tersebut.

Namun insiden di Natuna, Sabtu lalu, telah menodai ketulusan dan kesungguhan Indonesia mendorong penyelesaian damai terkait sengketa di Laut China Selatan.

"Kerja kita bertahun-tahun untuk mendukung perdamaian di kawasan (Laut China Selatan) seperti sia-sia," demikian pernyataan Susi mempersoalkan sikap Beijing.(rn)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: