
NBCIndonesia.com - Partai Hanura secara resmi memberikan dukungan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju di Pilgub DKI 2017. Dukungan tersebut langsung diungkapkan Ketua Umum Hanura Wiranto dalam deklarasi dukungan kepada Ahok di DPP Partai Hanura, Sabtu (26/3) lalu.
Meski Wiranto menyatakan dukungan tersebut merupakan keinginan kader partai dari tingkat terendah, nyatanya muncul 'pemberontakan' dari kader Hanura di DKI. Adalah Wakil Ketua DPS Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (OKK) Hanura DKI Jakarta, Rachmat HS dan Wakil Ketua Bidang Pembinaan Legislatif dan Eksekutif, Bustami Rahawarin, yang memprotes keputusan tersebut.
Keduanya bahkan memilih mundur dari posisi pengurus dan kader Hanura. Mereka bahkan mengritik Wiranto karena telah mendukung Ahok.
"Saya yakin, kalau Pak Wiranto kan bilang Hanura memilih Ahok karena rakyat Jakarta tanpa pamrih. Pertanyaannya rakyat yang mana? Ini pendekatannya rakus kekuasaan. Karena Hanura tidak mau menjadi partai yang kalah," ujar Rachmat di Sarinah, Jakarta, Minggu (27/3)
Rachmat mengaku menjadi salah satu pendiri Partai Hanura di DKI Jakarta. Dia juga mengaku membangun Hanura susah payah di daerah tersebut dengan dananya, bukan partai.
Dia juga menilai dukungan yang diberikan terhadap Ahok tidak sesuai dengan platform partai, jargon partai. Sebab, Ahok dinilainya tak punya hati nurani dengan kebijakan-kebijakan menggusur rakyat kecil, pedagang kaki lima tidak ada solusi, menggusur masyarakat Kampung Pulo, dan kebijakan-kebijakan lain yang menurutnya tidak sesuai dengan karater pemimpin harapannya.
- Rachmat dan Bustami secara simbolis melepas jaket Partai Hanura yang dipakainya. Di balik jaket tersebut, mereka menunjukkan kaos putih betuliskan 'Hati Nurani sampai mati, no Ahok!'.
"Sore ini saya mengirimkan surat pengunduran diri ke Ketua DPD Hanura DKI Ongen Sangaji yang ditembuskan pada Ketua Umum Hanura Wiranto," katanya.
Keduanya juga mengaku secara otoriter ditekan untuk mendukung Ahok. Jika tak mau mendukung Ahok, para kader diancam akan dipecat dari partai.
"Rembukannya dikumpulin teman-teman dengan tekanan, tidak mendukung Ahok diam, keluar, atau dipecat. Saya memilih untuk keluar. Itu ancamannya," kata Rachmat.
Tak cuma itu, Rachmat mengaku Ketua DPD Hanura DKI Jakarta, Muhammad Sangaji atau Ongen Sangaji turut melontarkan ancaman.
"Saudara Ongen Sangaji mengancam semua kadernya termasuk saya. Tapi saya melawan daripada mengkhianati hati nurani," katanya.
Rachmat mengaku tak habis pikir mengapa elite Hanura justru mendukung Ahok. Padahal, dia menilai, Ahok sudah sering menghina perwakilan Hanura di fraksi DPRD DKI Jakarta.
"Saya bingung apa alasannya mendukung Ahok yang sudah menghina partai, ini tidak masuk akal. Saya punya harga diri, saya tersinggung dan tidak bisa menerima. Fraksi DPRD dibilang maling, itu kan menghina partai. Rampok. Masak ada pemimpin gubernur bilangnya seperti itu," kata Rachmat.
Rachmat menilai harusnya Hanura mendukung bakal calon gubernur yang santun, cerdas dan tidak korupsi. Sedangkan Ahok, menurutnya, tidak santun dan korup.
"Jangan dianggap Ahok bersih, dia masih ditunggu kasus Sumber Waras. Sangat ditunggu. Jadi kalau Allah berkehendak, Ahok bisa jadi tersangka. Sudah jelas Sumber Waras itu menurut auditor negara, indikasi kerugian negara. Ini BPK yang bicara, kita tunggu. Jangan lagi ada rekayasa hukum. Indonesia ini negara hukum," paparnya.
"Partai seenaknya saja memutuskan calon gubernur, tidak sesuai dengan anggaran dasar dan rumah tangga. Kader Hanura 90 persen menolak Ahok," imbuhnya.
Sementara itu, Bustami Rahawarin menegaskan dukungan kepada Ahok tak sah. Sebabnya, tak sesuai dengan AD/ART Hanura.
"Kemarin itu (deklarasi dukungan ke Ahok) tidak sesuai dengan AD/ART. Tidak sah itu keputusannya, penetapan Ahok itu tidak sah," kata Bustami.
Menurut Bustami, sesuai mekanisme partai, harusnya secara struktural penjaringan melalui ranting PAC, DPC, sampai DPD. Setelah itu DPD merekomendasikan agar diadakan Rapimda. Jika tak ada nama Ahok yang disaring atau diusulkan DPD, maka DPP Hanura tidak akan bisa mendukungnya.
"Tentu DPP itu harus membuat keputusan itu sesuai keputusan DPD. Nama-nama yang diusulkan oleh DPD itu kemudian yang dipertimbangkan. Kalau di bawah (DPD) tidak ada mengusulkan nama Ahok, tidak bisa diputuskan," katanya.
Sedangkan dalam penjaringan di tingkat DPD sendiri melalui survei. Presentase suara tersebut didahulukan dari pemilih tetap yang dalam Pilkada kemarin memilih Hanura sebagai wakilnya di DPRD DKI Jakarta. Setelah itu barulah merumuskan dalam Rapimda, siapa yang akan diusulkan untuk dipilih oleh DPP.
Menurut Bustami, di periode Pilkada sebelumnya, Hanura selalu patuh pada mekanisme partai. "Baru kali ini saja (tak patuh). Pada yang lalu diputuskan Rapimda," tandasnya.(mdk)