
NBCIndonesia.com - Kabar mengenai akan terjadinya perombakan kabinet kerja sudah terdengar semenjak awal 2016. Namun, reshuffle yang akan dilakukan ini apakah akan menguntungkan rakyat atau malah memanjakan sebagian kelompok.
Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menilai, langkah Jokowi melakukan perombakan kabinet terlalu lama. Mengingat tidak adanya tekanan dari partai politik oposisi kepada pemerintah, lantaran sibuk dengan masalahnya internal masing-masing.
"Posisi Pak Jokowi mestinya lebih cepat bergerak. Pak Jokowi pada tingkat tertentu diuntungkan oleh alam. Karena bukan konsolidasi yang bagus karena lawan oposisi dia rontok urusan internalnya sendiri-sendiri. Tapi makanya menjadi aneh dalam kondisi seperti itu tidak ada satu loncatan yang cepat dilakukan Pak Jokowi," katanya di dalam diskusi di Jakarta Pusat, Minggu (17/4).
Dia mencontohkan, Partai Golkar yang masih sibuk untuk menentukan siapa ketua umum mereka. Bahkan rencana untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional tidak jelas arahnya. Kemudian Partai Gerindra yang juga masih berkutit dengan persiapan bakal calon Gubernur DKI Jakarta untuk Pilkada 2017.
Selain itu PKS juga tengah dirundung masalah. Fahri Hamzah yang sedang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR mendadak dipecat, bahkan keanggotaannya juga dihilangkan dari partai berwarna hitam kuning tersebut. Alhasil Jokowi tidak perlu lagi sibuk melakukan konsolidasi dalam pemerintahannya.
"Kelemahan oposisi terhadap Jokowi, bukan karena langkah-langkah konsolidasi yang dilakukan. Lebih disebabkan faktor internal koalisinya sendiri. Oposisi yang enggak terlalu kuat yang banyak masalah internal," ujar Ray.
Bahkan, Ray juga mempertanyakan mengenai alasan Jokowi melakukan reshuffle. Jangan sampai ini menjadi bumerang dan tidak memiliki landasan yang kuat. Mengingat pada saat perombakan kabinet sebelumnya, tidak ada penjelasan dari pemerintah mengapa terjadi pergantian jajaran kementerian.
"Paling penting pertanyaannya adalah apa gunanya Pak Jokowi melakukan reshuffle dan mau kemana reshufflenya? Bagi publik itu yang paling pokok, kalau cuma tukar nama, tukar posisi dan orang tapi untuk tujuan yang kita enggak paham, buat apa juga bagi masyarakat," tutupnya. (mdk)