
Kebijakan Gubernur Ahok yang terus menggusur pemukiman warga tanpa kompromi jadi isyarat buruk bagi rakyat bangsa ini. Aksi penghancuran warga Luar Batang bukan saja merupakan potret terbuka arogansi dan kesewenangan Ahok yang tak lagi menolerir warga lapis bawah untuk terus hidup wilayah Jakarta, melainkan juga ekspresi keotoriteran yang jauh mengalahkan rezim Orde Baru.
Betapa tidak. Ribuan aparat keamanan (aparat TNI, Polisi dan Polisi Pamong Praja) dikerahkan bersama berbagai alat berat penghancur bangunan warga. Warga hanya menyaksikan dengan penuh sedih dan linangan air mata, sama sekali tak berdaya mempertahankan hak mereka.
Ahok dan para pendukungnya boleh berbangga dengan aksi yang sudah ketiga kalinya dalam 8 bulan terakhir (Kampung Pulo pada Agustus 2015, Kalijodo di Februari 2016, dan Luar Batang di April 2016). Dan entah kawasan mana lagi yang hendak dihancurkan dengan alasan penataan dan atau relokasi.
Namun yang niscaya, Ahok sangat tak miliki rasa kemanusiaan yang mendalam tentang nasib warga bangsa yang umumnya pribumi itu setelah mereka kehilangan tempat tinggal dengan segala aktivitas ekonomi untuk hidup berikut sosial budaya mereka.
Bukan mustahil mereka akan jada terlantar, dan anak-anak mereka kehilangan masa depan. Ini yang mustahil dipikirkan secara matang oleh Ahok dan barisannya. Yang dikejar adalah mimpi menyaksikan kota yang indah tertata, tak boleh lagi ada pemukiman kumuh.
Ya, karena dengan itu akan dianggap berhasil sebagai pemimpin. Ini juga bisa berarti bahwa keberhasilan figur pimpinan sama halnya dengan banyaknya warga miskin yang tergusur dari ibukota ini.
Perlu dicatat bahhwa penduduk asli Jakarta, yakni orang-orang Betawi, sudah sejak lama tergusur secara fisik dari tanah-tanah mereka, akibat ekspansi para orang kaya pendatang dan pemilik modal yang ditopang oleh penguasa. Umumnya mereka sekarang tergeser di pinggir atau di luar wilayah Jakarta, atau hanya berada pada kampung-kampung tertentu seperti di kawasan Condet, Cipayung dan beberapa titik lain. Dan karena kampung-kampung pemukiman mereka itu juga tergolong kumuh, maka tak mustahil jug akan jadi korban dari Ahok.
Kecenderung kebijakan Ahok seperti itu bisa berimplikasi negatif dalam pola hubungan lintas komunitas penghuni Jakarta ini ke depan. Terutama karena yang dikesankan bahwa yang diberi ruang besar untuk memanfaatkan Jakarta oleh Ahok adalah hanya mereka-mereka dari kalangan berduit yang nota bene latar belakang budaya dan sosial mereka adalah pendatang dan non pribumi.
Di balik penggusuran itu ternyata ada misi besar kalangan pengembang (developer) yang niscaya akan peroleh keuntungan besar dalam membangun fisik lokasi yg digusur, termasuk membangun tempat-tempat baru untuk relokasi seperti rusun.
Kebijakan reklamasi pantai Jakarta yang bermasalah itu, dan merajalelanya proyek-proyek para pengembang di wilayah di DKI Jakarta yang menyiapkan pemukiman mewah merupakan wujud nyata kebijakan Ahok yang berpihak lebih pd kelompok the have. Dan, sudah pasti rumah-rumah mewah dan apartemen produk para pengembang itu tak mungkin dijangkau oleh kelompok warga yang tergusur dan atau umumnya warga pribumi Betawi.
Hal terpenting juga yang perlu dicatat adalah terkait dengan janji politik baik saat Jokowi Cagub DKI Jakarta maupun capres. Intinya sama, yakni tak akan gusur pemukiman warga miskin. Tapi kini, setelah Ahok menggusur paksa tiga lokasi dan terancam lagi sejumlah lokasi yg serupa, janji-janji Jokowi (dan sebenarnya juga trmasuk Ahok) itu jadi dipertanyakan. (ts)