
NBCIndonesia.com - Muhammad Arham, bocah laki-laki berusia 5 tahun, yang dirawat di RS IA Moeis, Samarinda, Kalimantan Timur, selama 28 hari ini, meregang nyawa pagi tadi. Dia menjadi korban tewas ke-24 ganasnya lubang bekas tambang batubara.
Ayah kandung Arham, Jamaludin (39) menceritakan, sebelum meninggal, anak bungsunya itu sempat berada dalam kondisi kritis. Meski tangan kirinya telah diamputasi, termasuk jari-jari di kakinya, namun belakangan kondisinya terus menurun.
"Pendarahan di lututnya, darah terus keluar, sudah dibantu perawat. Kecurigaan pembuluh darah di kakinya pecah. Tensi darahnya jadi tidak stabil," kata Jamaludin dalam perbincangan bersama merdeka.com, Jumat (6/5) sore.
Arham, anak bungsu dari 3 bersaudara itu, akhirnya meregang nyawa sekitar pukul 06.00 WITA pagi tadi, setelah menjalani perawatan selama 28 hari. Proses pemakaman Arham, dimulai usai Salat Jumat tadi.
"Sebelum salat Ashar ini, anak saya dimakamkan. Semua saya ikhlaskan, berjalan apa adanya. Mudah-mudahan ini yang terakhir kalinya. Sejauh ini, tidak ada seorang pejabat pun yang datang menjenguk anak saya. Tidak apa-apa," kata dia.
"Cukuplah anak saya menderita. Kalau pun ada benar-benar pihak membantu, saya ucapkan syukur Alhamdulillah," kata Jamaludin, yang kesehariannya bekerja sebagai pengrajin batako itu.
Sementara, Dimanisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Merah Johansyah menerangkan, meninggalnya Arham, menjadi korban tewas ke-24 akibat lubang tambang yang menganga, tanpa reklamasi.
"Kami mencatat, dalam 5 bulan ini, sudah ada 6 korban meninggal akibat lubang tambang. Terakhir, adalah adik Arham. Hampir setiap bulan bencana, kemana negara? Dalam hal ini, Gubernur Kaltim dan wali kota Samarinda," kata Merah.
"Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 memberikan kewenangan penuh kepada Gubernur, untuk mengawasi kegiatan pertambangan. Punya kekuatan untuk memberikan sanksi, misal yang tidak mereklamasi lubang tambangnya. Tapi apa faktanya?" pungkas Merah.
Diketahui, Arham, dirawat di RS IA Moeis di Jalan AM Rifaddin. Dia harus kehilangan lengan kiri dan sejumlah jari kakinya usai diamputasi, pascaterjatuh di kubangan batu bara di kawasan Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur, 9 April 2016 lalu.
Kubangan batu bara itu, belakangan diketahui milik PT IBP, pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat bernomor izin usaha pertambangan (IUP) SK 341.K/30.00/2008. Ironisnya, di areal PT IBP itu kini berdiri rumah proyek perumahan bersubsidi. Padahal seharusnya, perusahaan menjalankan kewajiban untuk mereklamasi. (mdk)