
Nusanews.com - Anggota DPRD DKI Rois Hadayana Syaugie mengatakan, pihaknya sudah membentuk Pansus untuk mengusut kasus reklamasi teluk Jakarta.
Pembentukan Pansus tersebut guna mendalami kontribusi tambahan dalam ‘perjanjian preman’. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak ada mekanisme yang jelas.
Karena itu, untuk membongkar dugaan kongkalingkong itu, keputusan DPRD membentuk Pansus sangat tepat.
“Saat ini sudah di Balegda, prosesnya,” kata Rois di Jakarta, Senin (30/5/2016).
Anggota Komisi D DPRD DKI itu mengatakan, dengan terbentukanya Pansus, DPRD bisa leluasa memanggil pihak-pihak terkait. Misalnya semua yang mengikuti rapat 18 Maret 2014.
“Diduga kuat, Ahok telah melakukan ijon dengan pengusaha,” ungkapnya.
Rois mencontohkan, ketika Rusunawa yang merupakan kontribusi tambahan dibangun, belum ada surat penetapan lokasi oleh gubernur.
Namun, Kepala Dinas Perumahan Ika Lestari Aji, sudah membenarkan bahwa pembangunan di wilayah Daan Mogot dan Muara Baru itu merupakan kompensasi proyek reklamasi di pantai utara Jakarta.
“Itu diakui Ika selaku Kepala Dinas Perumahan,” ungkapnya.
Menurutnya, pembangunan dengan uang ratusan miliar tidak bisa dikerjakan seenaknya. Apalagi, sepengetahuan dia, pembangunan rusun sudah dimulai sejak 2013 tetapi surat perjanjian baru keluar pada Juli 2014.
“Sudah telat nominal anggaran juga tidak ada,” bebernya.
Berdasarkan data yang sudah beredar di kalangan DPRD, perjanjian preman itu memang ada. Buktinya adalah berita acara rapat Ahok bersama PT Muara Wisesa Samudra yang merupakan anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL), PT Jaladri Eka Pakci, PT Jakarta Propertindo, dan PT Taman Harapan Indah.
Berita acara itu tertanggal 18 Maret. Rapatnya dilaksanakan pada 4 April 2014.
Selain itu, ada video rapat tersebut yang juga sangat menjelaskan, bahwa kontribusi tambahan adalah syarat untuk penerbitan izin reklamasi bagi keempat perusahaan tersebut.
Dalam dokumen yang berasal dari oknum Pemprov DKI itu, dasar yang dipakai Ahok menerbitkan izin adalah Keppres 52 Tahun 1995.
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) tak dijadikan acuan.
Padahal dalam UU tersebut reklamasi di Jakarta yang merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) sepenuhnya dalam kendali pemerintah pusat. Namun , ketika itu Ahok masih wakil gubernur.
Di rapat tersebut disebutkan izin akan diterbitkan setelah ada kepastian pemenang Pilpres 2014. Sebab, jika Joko Widodo kalah, maka tanggung jawab menangani kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta tidak jadi pindah ke tangan Ahok.
Seperti disampaikan sebelumnya, Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja yang kini menjadi tersangka KPK terkait kasus suap proyek reklamasi teluk Jakarta, dalam rapat itu berperan sebagai kuasa PT Jakarta Propertindo dan PT Jaladri Eka Pakci. (it)