
NBCIndonesia.com - Presiden Jokowi mencanangkan pembangunan mega proyek infrastruktur Rp 5.500 triliun dalam lima tahun. Ironisnya, program mulia ini dicemari kasus suap kader PDIP, Damayanti Wisnu Putranti (DWP).
Dalam sebuah diskusi bertemakan perekonomian Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengatakan, keperluan dana untuk membangun infrastruktur mencapai Rp 5.500 triliun dalam lima tahun.
Katakanlah angka tersebut akurat, maka dana pembangunan infrastruktur per tahun harus tersedia Rp 1.100 triliun. Atau setengah dari Produk Domestik bruto (PDB). Cukup besar kan.
Nah, untuk memenuhi kebutuhan dana infrastruktur, tidak bisa berasal dari APBN. Lantaran, kemampuan APBN 2016 amat sangat terbatas. Apalagi, memburuknya perekonomian dunia dipastikan bakal menggerus potensi penerimaan negara dari pajak dan non pajak.
Kembali ke soal kemampuan anggaran menanggung biaya infrastruktur, Suahasil mengaku memang berat. Dari APBN 2016, hanya mampu menanggung sampai Rp 300 triliun. "Ya itu paling mentok Rp 300 triliun. Sudah luar biasa," papar Suahasil.
Untuk menutup kekuarangan yang Rp 800 triliun, kata Suahasil, pemerintah mendorong BUMN melakukan leveraging aset. Sehingga ada dana yang bisa diputar untuk pembangunan infrastruktur.
Cara kedua, kata Suahasil, pemerintah mendorong peran swasta untuk berinvesasi di sektor infrastruktur. Agar banyak swasta yang tertarik, pemerintah siapkan sejumlah kemudahan termasuk insentif fiskal.
Hanya saja, cara kedua ini, cukup beresiko. Dijadikan ajang korupsi atau praktik suap yang menyeret banyak pihak.
Benar saja, Januari 2016, Anggota Komisi V DPR asal PDIP Damayanti Wisnu Putranti dicokok KPK karena kasus suap proyek infrastruktur di Maluku Utara.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/4/2016), sang ratu proyek DWP menyebut bahwa aliran dana suap infrastruktur masuk melalui program dana aspirasi.
"Dana aspirasi yang diplot nominalnya oleh pimpinan fraksi, kemudian kapoksi (ketua kelompok fraksi) dan anggota, untuk apanya sudah bagian jatah seperti ban berjalan siapapun anggota DPR pasti dapat," kata Damayanti.
Dari pengakuan politisi perempuan dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah IX ini, bisa disimpulkan bahwa pimpinan Fraksi PDIP di DPR juga mengetahui adanya praktik melawan hukum ini.
Lalu siapakah dia? Dari sumber di internal PDIP, Damayanti memiliki kedekatan khusus dengan Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto, serta Wakil Ketua Komisi X DPR dari PDIP Utut Adianto. Mungkin hanya kebetulan saja, ketiganya berasal dari Dapil sama yakni Jawa Tengah.
Jadi, tak heran bila karier politik ibu empat anak yang hobi dengan warna ungu ini, melesat cepat. Yanti, sapaan akrab Damayanti, sempat tersandung kasus korupsi Damkar Pemkot Damayanti pernah tersangkut kasus pengadaan Damkar di Pemkot Bengkulu senilai Rp 1.734.157.500.
Sebelum Damayanti dijepret KPK, internal Poksi V PDIP sudah mendengar berbagai info negatif. Bahwa dia sibuk bermain-main dengan proyek yang melawan dengan hukum.
Selanjutnya, Poksi V PDIP sudah mengingatkan dan mencopotnya dari jabatan sekretaris Poksi. Selain itu, muncul desakan kuat agar Damayanti dipindahkan dari komisi V. Namun, Damayanti tetap saja bisa melenggang dengan aman. Bisa jadi karena faktor kedekatan dengan petinggi fraksinya itu.
Peneliti anggaran dari Centre for Budget Analisys (CBA), Uchok Sky Khadafi mendukung KPK untuk mencokok seluruh anggota DPR yang terlibat dalam kasus suap Damayanti. Termasuk elit PDIP apabila memang ada alat buktinya. "Bila ada alat bukti yang mengungkap keterlibatan petinggi fraksi PDIP, KPK harus bergerak. Ambil saja, jangan tebang pilih," tutur Uchok.
Masih kata Uchok, kasus suap Damayanti yang menyeret PDIP, tak ubahnya kasus Nazaruddin di Demokrat. Di mana, PDIP perlu segera melakukan pembersihan internal.
"Saya kira, Ibu Mega perlu membersihkan fraksi PDIP dari politisi-politisi yang bermasalah. Saya yakin masih ada yang bersih dan berintegritas kok," papar Uchok. (il)