
Nusanews.com - Dari segi akademis, oligarki sebetulnya konsep yang mewah dalam pikiran, di mana pemimpin merupakan seleksi dari sekelompok kecil masyarakat.
"The choosen. Yang berkuasa adalah orang-orang terpilih," terang dosen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia (UI) Rocky Gerung dalam diskusi publik bertajuk "Demokrasi dalam Cengkraman Oligarkhi" di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, kemarin.
Pembicara lainnya adalah Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah; Sekjen Peradi, Sugeng Teguh Santosa; Ketua Majelis Prodem, Bob Randilawe dan Ketua Komisi Nasional Rakyat Indonesia Menggugat, Effendi Saman.
Menyetir istilah yang digunakan Aristoteles, lanjut Gerung, manusia itu political animal atau zoon politicon.
"Kita adalah binatang yang berpolitik. Genus kita adalah binatang. Tapi kita berbeda dengan binatang, manusia mampu berpolitik sedang binatang tidak. Politik adalah upaya manusia untuk mendistribusikan keadilan. Sedangkan sifat predasi (saling memakan) adalah sifat alami bagi binatang," urai Gerung.
Problemnya memang, demokrasi justru bukan dalam cengkeraman oligarki. Tapi demokrasi datang meminta oligarki merawatnya.
"Seperti Golkar yang didatangi oleh Presiden dan akhirnya Golkar memberikan cek kosong pada pada presiden. Kita baru dalam fase "keluar dari" menuju "masuk ke". Keluar dari otoritarianisme masuk ke demokrasi. Perlu proses yang panjang," imbuhnya.
Menurut dia, lembaga rakyat yang memelihara ketertutupan memang sepantasnya dikritik. Sebab, dulunya oligarki di-propose oleh orang yang punya pikiran kaya. Tapi hari ini, ia mencermati, oligarki diisi oleh orang yang tidak punya pikiran.
Fahri Hamzah, kata Gerung mencontohkan. Dulu, ia mengingat Fahri sebagai anak muda yang memimpin perjuangan mahasiswa dan rakyat agar Indonesia mengalami transisi demokrasi.
"Tapi kini, Fahri justru menjadi korban dari praktik oligarki teokratis. Fahri adalah korban dari ketidakmauan partai melakukan sirkulasi elit," tukasnya. (rmol)