
Nusanews.com - Revisi kedua UU 1/2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang telah disahkan telah berhasil membuat rumah kaca bagi penyelenggara pilkada.
Hal ini, kata Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Andrian Habibi sebagaimana termuat dalam Pasal 9 huruf (a) bahwa dalam menyusun peraturan KPU dan pedoman teknis harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum dengar pendapat dan bersifat mengikat.
Begitu juga nasib pengawas yang dirumahkacakan sesuai Pasal 22B huruf (a) terkait pembuatan peraturan dan pedoman teknis harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dan bersifat mengikat.
Menurut Andrian, frase 'setelah berkonsultasi' sama saja dengan keharusan mengakomodir saran dan masukan dari DPR dan Pemerintah. Bila rapat dengar pendapat dilaksanakan, maka KPU dan Bawaslu tentu menyampaikan rancangan peraturan yang kemudian diobok-obok oleh DPR dan Pemerintah.
"Dengan demikian, asas kemandirian, profesional dan kepastian hukum akan lepas landas dari keharusan peraturan yang dibuat penyelenggara," ungkap Adrian dalam keterangan beberapa saat lalu (Senin, 6/6).
Kata 'setelah berkonsultasi' juga, smabung Adrian, bisa diartikan mengharuskan lobby-lobby politik untuk mensahkan peraturan dan pedoman teknis. Hal ini sama saja dengan memuluskan kepentingan politisi.
"Tidak mungkin politisi membiarkan adanya peraturan teknis yang menyulitkan kader yang diusungnya dalam memenangkan pesta demokrasi eksekutif daerah," demikian Adrian. (rm)