logo
×

Senin, 18 Juli 2016

Klaim Tak Ada Pelanggaran Berat di Reklamasi Pulau G, Kepala Bappeda DKI Ngawur!

Klaim Tak Ada Pelanggaran Berat di Reklamasi Pulau G, Kepala Bappeda DKI Ngawur!

Nusanews.com - Klaim Kepala Bappeda DKI Jakarta Tutty Kusumawati bahwa tidak ada pelanggaran berat dalam reklamasi Pulau G terbukti ngawur.

Menurut dia, istilah pelanggaran berat itu diutarakan oleh Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli sendiri saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Pada rapat koordinasi terakhir, 30 Juni 2016, saat Menko Maritim dan Sumber Daya memutuskan pembatalan Pulau G, saya dapat informasi bahwa Kepala Bappeda DKI tidak hadir. Dia sedang menjadi saksi Tipikor kasus Sanusi. Saya heran, kok Tutty bisa ngomong ngawur begitu," ujar Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS), Edy Mulyadi, di Jakarta, Ahad (17/7).

Perlu dipahami Tutty, lanjut Edy, rekomendasi yang ditampilkan pada raprat koordinasi yang dipimpin Safrie Burhanuddin selaku ketua Tim Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara bukanlah final. Rekomendasi itulah yang kemudian dibawa ke rakor yang dipimpin Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli.

"Nah, keputusan yang disampaikan Menko adalah keputusan Rapat Komite Bersama," terang Edy seperti dikutip dari RMOLJakarta.Com.

Komite Gabungan Reklamasi terdiri atas perwakilan Kemenkom Maritim dan Sumberdaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemprov DKI. Tutty adalah salah satu pejabat yang mewakili Pemprov DKI dalam komite tersebut.

Pada awal Rakor, Tutty menyatakan bahwa Keppres Nomor 52/1999 yang menjadi dasar bagi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menerbitkan izin reklamasi bersifat lex spesialis. Namun pengacara senior Otto Hasibuan membantah pernyataan Tutty tersebut. Belakangan Tutty justru meminta maaf dan mengaku memang tidak paham soal hukum.

Adapun keputusan menyetop reklamasi Pulau G secara permanen, kata Edy mengutip pernyataan Safrie, didasari kajian yang matang dan temuan banyaknya pelanggaran di lapangan. Dari aspek teknis, misalnya, pelanggaran reklamasi Pulau G antara lain karena bersinggungan dengan breakwater Muara Angke, menganggu instalasi pipa gas bawah laut dan pemeliharaannya, disamping itu mengganggu operasi tiga PLTU/PLTGU di Pantai Teluk Jakarta.

Tim Komite Bersama juga menyimpulkan, dari aspek sosial ekonomis, reklamasi Pulau G berpotensi memicu konflik dengan alur pelayaran dari dan ke PPI Muara Angka dan penurunan pendapatan, peningkatan biaya operasional dan jarak tempuh nelayan yang semakin jauh.

Sedangkan dari sisi legal, pelanggaran yang dilakukan pengembang untuk pulau G antara lain, melanggar pasal 94 ayat (5) PP Nomor 5/2010 tentang Kenavigasian, terkait zona 500m dari sisi terluar instalasi atau bangunan, melanggar UU 32/1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pasal 30 dan 31 PP No 61/2009 tentang Kepelabuhanan. Peraturan lain yang dilanggar adalah UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

"Yang saya sebutkan itu hanya beberapa pelanggaran Pulau G terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku. Banyak lagi peraturan dan perundangan yang dilanggar. Jadi, kalau Ahok tetap ngotot berpegang Keppres No.52/1995, tidak salah kalau Menko Maritim minta Ahok jangan kuno. Dia harus berpikir modern. Sudah banyak peraturan yang lebih baru dan lebih tinggi daripada Keppres yang dia sodorkan," papar Edy.

Tentang terganggunya PLTU/PLTGU di Pantai Teluk Jakarta. Secara khusus PT PLN (Persero) telah mengirim surat nomor 0738/KON 00.03/DIRREG-JBB/2016 kepada Surat ke Menteri Kelauatan dan Perikanan.  Dalam surat itu, Direktur PLN Murtaqi Syamsuddin mengatakan, sangat khawatir rencana reklamasi di Teluk Jakarta akan mempengaruhi kinerja pembangkit PLN.

Total jumlah kapasitas daya saat ini di PLTU/PLTGU Muara Karang, PLTGU Tanjung Priok, PLTU Muara Tawar sebesar 5.703 MW. Direncanakan ada penambahan kapasitas menjadi sebesar 9.253 MW dengan selesainya PLTGU Jawa-1 sebesar 1.600 MW. Keempat pembangkit tersebut merupakan pasokan daya utama untuk melayani Jakarta.

"Publik harus tahu, bahwa keputusan membatalkan reklamasi pulau G karena memang berbahaya jika dilanjutkan. Kalau sampai, misalnya, terjadi ledakan pada pipa gas bawah laut, atau benar-benar terjadi gangguan terhadap pasok listrik Jakarta karena reklamasi, siapa yang disalahkan? Tentu bukan pengembang atau Pemprof DKI. Publik akan menyalahkan Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta karena memberi rekomendasi reklamasi pulau G," ujar Edy.

Edy menilai, sikap pembohong dan ngawur Tutty meniru bosnya, Ahok yang sering membuat pernyataan bersebrangan dengan faktanya.

Sebelumnya Ahok mengatakan bahwa di Teluk Jakarta sudah tidak ada nelayan dan tidak ada ikan lagi. Namun ketika dikonfirmasi langsung oleh Menko Rizal Ramli, omongan Ahok tersebut tidak benar.

Di awal-awal reklamasi, kepada media, Ahok juga pernah berbohong bahwa Rizal Ramli tidak keberatan dengan reklamasi. Begitu juga dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Bahkan, dia terang-terangan mengklaim telah mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi. "Ternyata semua itu bohong dan hanya klaim Ahok secara sepihak," tukas Edy. (rn)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: