
Nusanews.com - Tiga partai politik pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah mendeklarasikan dukungannya untuk maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur partai politik. Namun, kini justru persoalan muncul dari internal Partai Golkar yang tidak solid mendukung Ahok. Karma politik Ahok di Pilgub DKI Jakarta 2017?
Partai Golkar salah satu pendukung utama Ahok sejak awal memang tidak satu suara soal pencalonan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta ini. Selain soal mekanisme di internal yang sejak awal ditabrak, persoalan figuritas Ahok yang menjadi catatan serius sejumlah elit partai.
Ahok saat ditanya soal kemungkinan salah satu dari tiga partai politik yang mengusungnya urung mencalonkan dirinya, Ahok pun mengaku bila hal tersebut terjadi maka dirinya bernasib sial. "Kalau mereka (tiga partai) mengingkari kepercayaan yang kami berikan ya sudah berarti kita sial aja ditipu partai-kan," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Rabu (10/8/2016).
Meski demikian, Ahok optimistis partai politik yang sejak awal mendukungnya tidak akan balik badan. Karena menurut Ahok, risiko politik akan besar ditanggung partai politik yang balik badan. Menurut dia, Pilkada DKI Jakarta menjadi cermatan publik di Indonesia. "Saya kira partai masa mau menodai, kalau sampau mau nekat juga ya," kata Ahok.
Sebelumnya, Ketua Tim Pemenangan Ahok, Nusron Wahid mengakui dukungan elit Partai Golkar tidak bulat terhadap Ahok. Hanya saja, ia memastikan elit yang tidak setuju pencalonan Ahok mereka yang tidak memiliki otoritas politik di internal. Lebih dari itu, Nusron mengaku dukungan pemilih Golkar untuk Ahok cukup tinggi di angka 63 persen sebagaimana hasil riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Dukungan Partai Golkar, Partai NasDem dan Partai Hanura terhadap Ahok menjadi modal penting terkait dengan persyaratan pencalonannya dalam Pilkada melalui jalur partai politik. Ketiga partai politik itu mampu mengumpulkan 24 kursi di DPRD Jakarta.
Adapun syarat minimal yang harus dimiliki oleh calon kepala daerah dari unsur partai politik dan gabungan partai politik sebanyak 22 kursi DPRD. Dengan kata lain, bila salah satu partai politik membelot dalam pencalonan Ahok, dapat dipastikan Ahok bakal gagal sebelum berperang.
Skenario itu bisa saja terjadi. Apalagi, hingga satu bulan ke depan hingga batas akhir pendaftaran calon kepala daerah/wakil kepala daerah dinamika politik masih terus terjadi. Meski, risiko politik seperti yang disebut Ahok, juga tidak menutup kemungkinan bakal diterima partai politik.
Di sisi lain, Koalisi Kekeluargaan yang diinisiasi tujuh partai politik juga menjadi ancaman serius bagi Ahok. Realitas politik ini tentu akan menjadi hitung-hitungan partai koalisi pendukung Ahok. Harus diingat, Pilkada DKI Jakarta memiliki gengsi politik tinggi terkait dengan Pemilu 2019 mendatang. Semua partai politik pasti berhitung soal efek politik paska pilkada DKI Jakarta.
Terkait kemungkinan partai politik meninggalkan Ahok, tentu ini mengingatkan perilaku Ahok dalam berpolitik selama ini. Reputasi Ahok dalam soal konsistensi dalam berpartai telah jamak diketahui publik. Ahok termasuk sosok yang demonstratif "kutu loncat" dalam berpartai.
Saat awal reformasi, ia aktif di Partai Indonesia Baru (PIB), setelah itu ke Partai Golkar hingga menghantarkannya duduk di kursi DPR RI di Senayan. Saat Pilkada DKI Jakarta 2012, Ahok juga rela melepas jas warna kuningnya. Ia meloncat ke Partai Gerindra maju sebagai Cawagub bersama Joko Widodo. Jokowi-Ahok didukung oleh dua partai yakni PDI Perjuangan dan Partai Gerindra dan akhirnya memenangkan pemilihan.
Pilkada DKI Jakarta 2017 ini apakah menjadi karma politik Ahok, urung maju lantaran ditinggalkan partai politik? Biarlah waktu dalam satu bulan ke depan yang menjawabnya. (il)