
Nusanews.com - Pelaku industri pengguna gas bumi teriak menagih janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang besaran harga gas industri. Dalam paket kebijakan ekonomi ketiga, presiden berkomitmen akan menurunkan harga gas industri hingga di bawah US$ 6 per meter kubik.
Paket kebijakan tersebut terbit pada Oktober 2015.
"Namun sampai akhir September 2016 ini, sudah hampir satu tahun, belum terealisasi," ujar Bendahara Forum Industri Penggguna Gas Bumi (FIPGB),Jusmery Chandra, saat berbincang dengan TeropongSenayan di Jakarta, pekan lalu.
Dalam paket ekonomi tersebut, Presiden Jokowi berkomitmen untuk menetapkan harga gas industri di bawah US$ 6 per meter kubik. Kebijakan tersebut akan berlaku surut dari Januari 2016. Hanya saja, kata Mery, hingga kini mekanismenya belum jelas. Kabar yang diterima pelaku industri, kebijakan tersebut harus ada koordinasi dari menteri perindustrian, ESDM, dan menko maritim.
"Dulu, sudah kita petjuangkan. Setelah ganti menteri, menteri yang baru harus mempelajari lagi dari awal," jelasnya.
FIPGB,lanjut Mery,juga telah bersurat kepada presiden beberapa waktu lalu. Isi surat tersebut menegaskan, paket ekonomi ketiga tidak efektif karena sampai sekarang belum bisa diimplementasikan. Presiden Jokowi merespons surat tersebut, dan menyatakan semua akan dibereskan oleh Menteri ESDM, yang ketika itu dijabat oleh Sudirman Said. Faktanya, hingga kini industri masih harus membayar harga gas dengan harga mahal.
Selama ini, jelas Mery, industri di Tanah Air menggunakan gas dengan harga antara US$ 8 - US$ 10 per meter kubik.
"Harga rata-ratanya di atas US$ 9 per meter kubik," kata Mery.
Dibandingkan dengan negara tetangga, harga gas industri di Indonesia jauh lebih mahal. Negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Singapura mematok harga gas industri US$ 4-5 per meter kubik.
"Bahkan Singapura yang gasnya impor berani menjual murah kepada industri dalam negerinya," ujar Mery.
Negara tetangga bisa menjual gas industri dengan harga murah karena ada kepedulian dari pemerintah. Seharusnya, Pemerintah Indonesia juga bersikap serupa. Sebab, dari sudut ekonomi, pertumbuhan dan perkembangan industri memiliki efek berganda.
"Misalnya, penyerapan tenaga kerja, dan PPn yang berlapis. Negara bisa mengenakan beberapa kali PPn untuk satu produk industri," kata Mery.
Akibat mahalnya harga gas, kini banyak industri yang merugi. Itu karena pabrik tak mampu memaksimalkan kapasitas produksinya. Bahkan, ujar Mery, banyak pabrik yang mematikan mesin karena tak mampu membeli gas.
"Dengan harga gas yang mahal, kapasitas produksi pabrik hanya bertengger di angka 70-80 persen. Di level ini, kemungkinannya cuma dua, kalau tidak BEP (break event point) atau rugi. Kalau untung tidak mungkin karena kapasitas produksinya harus 100 persen," papar Mery.
Guna membahas harga gas industri, FIPGB hari ini, Rabu (28/9/2016) akan bertemu dengan Menteri Perindustrian Erlangga Hartarto.
"Dari bertemu menteri, kami berharap dapat mengawal untuk bertemu presiden, bulan depan. Isu gas ini sudah SOS, sudah krusial," tegas Mery. (ts)