
Oleh: Munawar Fuad Noeh
Dosen Presiden University
Sekretaris PP Dewan Masjid Indonesia
AKAN seperti apa situasi dan kondisi Jakarta dan negeri ini pada hari ini? Sepanjang situasi sejak Gubernur DKI Jakarta, berpakain uniformdinas dan kunjungan resmi sebagai kepala daerah di Pulau Seribu melontarkan Al-Maidah 51, pro-kontra, pasang surut gelombang benih konflik dan reaksi makin kuat.
Klimaknya akan terjadi hari ini yang sebelumnya memang sangat menyita energi dan suasana kenyamanan negeri ini; bukanhanya di Jakarta, sepertinya sudah merata ke seantero negeri, bahkan mendapat sorotan masyarakat dunia. Era digital dan media sosial telah mendorong akselerasi dan perluasan tanpa batas antar warga netizen untuk saling share, comment atau likes or dislike.
So, siapa menghadapi siapa, siapa kawan atau lawan, siapa leader dan siapa follower, jadi serba biasa dengan era multimedia yang saling tersambung dan terhubung satu sama lain.
Tak cukup dan tak tergantikan, beragam group medsos di FB, Twitter atau WA dan lainnya, tetap membutuhkan pola silaturahim dan komunikasi langsung.Banyak ragam salah paham, saling singgung dan caci maki, via udara mewartakan suasana tegang seperti perang dingin dan urat saraf.
Jelang 4 November, pusaran isu tak lagi tentang Al-Maidah 51. Ragam isu utama dan isu sampingan bermunculan mulai dari yang berbau politik Pilkada, gap antarminoritas-mayoritas, trauma isuanti China, intervensi tunggangan negara asing China versus Amerika, muatan hukum dan rasa keadilan, termasuk kenaikan UMK daripara buruh, tak ketinggalan gerakan mahasiswa yang serukan perkokoh NKRI dan kebangsaan. Juga Panglima TNI dan Kapolri turut turun gunung dan bersuara lantang untuk selamatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Lebih jauh lagi, tiap saat mainstream isu bergeser ke ranah kudeta politik dan lontaran ada makar di balik rencana aksi 4 November. Pernyataan bersahutan seakan tragedi 1997-1998 akan terulang, kerusuhan, jatuh korban, konflik internal para Jenderal, junta militer dan sebagainya, membayangi laju situasi menuju 4 November.
Kekhawatiran konflik elit dan horizontal akan terjadi sempat menghantui suasana dan hingar bingar di tengah Pilkada Jakarta. Pilkada yang dalam dinamika dan rasanya bak Pilpres karena melibatkan elit, ekpose dan publikasi yang luar biasa.
Di momen yang tepat, para pimpinan negeri ini tak juga telat mengambil langkah cepat untuk berkomunikasi satu dengan lainnya. Saling kunjung antar elit politik dan pemimpin secara informal telah membangun silaturahim dan komunikasi yang bernas dan penuh teladan.
Sepanjang terbangun silaturahim dan komunikasi politik yang terus mencair, makin terjadi suasana kondusif dan stabil. Makin mudah terjadinya saling paham dan saling mengerti satu sama lain. Bertambah mudah menemukan titik temu dan solusi bersama. Selalu ada konsensus bersama untuk membangun negeri meskipun dari peran dan posisi berbeda dan beragam.
Pengalaman politik negeri ini saat menjelang reformasi, terjadinya reformasi politik, ekonomi, hukum dan kekuasaan, hingga era demokrasi langsung yang makin matang dan dewasa, tak membuat saya khawatir dengan masa depan dinamika demokrasi saat ini.
Apa yang menjadi kalkulasi elit, celotehan para netizen di medsos apakah 4 November akan menjadi tragedi 1998 Jilid II yang memang tragis dan menjadi catatan hitam sejarah negeri ini, menjadi lebay dan berlebihan.
Saya meyakini, tidak, tidak akan terjadi peristiwa kelam pada 4 November, apalagi berujung makar dan terjadi transisi kekuasaan. Saya melihat ada commen sense yang kuat di kalangan elit saat ini. Sebegitu keras segala pro kontra, via media elektronik, online maupun medsos, tak mudah memicu ledakan saling gontok dan menghancurkan antar elit politik dan pemimpin sosial saat ini.
Relasi para elit pemimpin formal maupun partai, sebut saja Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, di dalamnya ada Menkopolhukam Wiranto; di sisi lain ada Presiden ke 6 SBY, Ketum Gerindra Prabowo, juga pimpinan partai lainnya, semuanya punya memori kolektif yang sangat kuat untuk selalu bisa ketemu, jalin komunikasi dan bercanda ria. Meskipun publik sempat khawatir, akan terjadi gesekan bahkan konflik vertikal dan horizontal. Seyakinnya, berkat kesadaran dan tanggung jawab bersama, rumors tentang kudeta ataupun makar tak akan terjadi. Bahkan, transisi kekuasaan dan junta militer pun cuma halusinasi pihak yang pengen negeri ini hancur berantakan.
Saya pernah berinteraksi dengan jarak dekat dengan semua elit pemimpin, mereka adalah guru dan teladan, juga para negarawan. Saya meyakini tak ada satu pun di antara mereka yang bermaksud, punya niat dan skenario mau menghancurkan bangunan harmoni kebangsaan, fondasi kerukunan dan kokohnya pilar demokrasi yang ditata dengan susah payah secara bersama.
Terlebih, para tokoh agama yang menjadi imam spiritual dansosial, meskipun ada yang berekspresi keras dan terkadang terdengar radikal, saya meyakini adanya spirit kebangsaan-keagamaan yang bersenyawa untuk menjaga keindonesiaan dan harmoni keummatan dan kerakyatan.
Dengan irama dan ritme yang tersambung antar elite formal dalam pemerintahan maupun politik dan spiritual and cultural leader, saya meyakini suasana semakin baik dan kondusif. Apa yang menjadi isu utama dan aspirasi umat Islam terkait tuntutan tegaknya keadilan dan hukum, tengah berjalan cepat dan semakin pasti, dengan proses hukum di Bareskrim MabesPolri yang terus berjalan. Gubernur DKI Sang Petahana akan dipanggil dan datang pada Senin memenuhi panggilan dalam proses hukum.
Suasana yang tadi sangat panas makin mendingin. Momen 4 Nov tetap berjalan sebagai ajang demokrasi dan gerakan moral untuk penegakan hukum. Hukumlah yang berdaulat, bukan kekuasaan dan politik.Tak ada anak emas dan diskriminasi atas siapapun, mayoritas atau minoritas. Itulah komitmen moral dan common sense, konsensus yang terbangun, dalam bhinneka tetap bersama untuk mengawal tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam pengawasan ratusan juta mata dan hati nurani rakyat, kesungguhan aparat dan komitmennya yang bekerja independen dan profesional tengah ditunggu publik. Akhirnya, tak ada yang bisa melawan atau berhadapan dengan suara rakyat yang bersatu untuk melawan keangkuhan dan kesombongan.Tak boleh adalagi, aparateksekutif, legislatif atau aparat hukum, pemimpin yang sewenang-wenang, bertindak arogan, penuh caci maki dan berkhianat dengan keluar dari ketulusan melayani rakyat.
Rakyat di negeri ini sudah teruji menghadapi gelombang sejarahnya yang penuh tekanan, derita panjang dan penistaan semasa kolonialisme. Jangan ada lagi rakyat terjajah oleh sesama warga bangsa, bahkan oleh pemimpinnya sendiri yang memperbudak rakyatnya. Dengan pengalaman inilah suatu generasi dan lintas generasi dapat belajar kembali pentingnya kearifan dan selalu bijak menata harmoni, persaudaraan dan saling toleran dan menghormati sebagai karakter dasar kebangsaan kita. Salam damai dan harmoni untuk semua. (rmol)