
NUSANEWS - Banyak pihak yang tidak memahami peta konstitusi dan undang-undang (UU) sesudah amandemen ke-4, sehingga menyebabkan banyak pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan.
Demikian dikatakan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menanggapi laporan Solidaritas Merah Putih (Solmet) ke Polda Metro Jaya terhadap dirinya. Fahri diperkarakan karena orasinya saat Aksi Bela Islam II pada 4 November lalu dianggap berbau penghasutan massa untuk menjatuhkan pemerintah yang sah secara inskonstitusional sesuai pasal 160 KUHP.
Laporan kemarin tertuang dalam LP/ 5541/ XI/ 2016/ PMJ/ Dit Reskrimum. Penyidik akan memanggil Fahri dan saksi-saksi dari pihak Solmet. Untuk memperkuat laporan, pihak Solmet membawa bukti salinan orasi Fahri Hamzah yang beredar di situs Youtube dan media sosial Facebook.
Ketua Solmet, Silfester Matutina, menyatakan empat poin yang menjadi alasan pihaknya membuat laporan kepolisian. Pertama, dugaan penghasutan, yakni memberitahukan cara menjatuhkan Presiden. Lalu menuding Presiden telah melanggar hukum berkali-kali. Alasan lain adalah Fahri menuding Presiden telah menginjak simbol-simbol agama Islam, dan terakhir menuding Presiden melindungi kafir yang telah menistakan agama.
Fahri Hamzah sendiri menyayangkan laporan tersebut. Sebab, banyak pihak yang tidak memahami peta konstitusi dan undang-undang (UU) sesudah amandemen ke-4 sehingga menyebabkan banyak pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan.
Terkait makar, Fahri menilai pasal makar itu sebagian besar sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penyesuaian dengan UUD 1945 yang baru.
"Makar dalam terminologi aslinya di KUHP disebut anslaag. Aanslag itu diartikan sebagai gewelddadige aanval, yang dalam bahasa Inggris artinya violent attack. Artinya, makar itu hanya terkait dengan fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat," ujar Fahri dalam keterangan persnya.
Memang, ujar dia, di Bab II KUHP sebelum reformasi, makar dibahas dari Pasal 104 sampai 129. Namun, sekarang sudah banyak yang dihapus dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal makar yang tersisa hanya yang terkait violent attack, seperti membocorkan rahasia negara dan bekerja sama dengan tentara asing dalam massa perang.
Sementara yang terkait dengan kehormatan dan martabat kepala negara, kata Fahri, sudah berubah menjadi delik aduan. Amandemen 1945 memigrasi segala anasir otoriter yang berpotensi mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi masyarakat.
Menurut dia, soal Presiden naik dan jatuh sudah diatur dalam konstitusi. Tak ada yang tidak diatur demi tertib sosial.
"Ketiga, soal posisi dan tugas legislatif. Yang perlu diketahui oleh kita, yang memiliki fungsi pengawasan itu adalah legislatif. Ini bukan soal makar atau melawan, melainkan soal pengawasan," tegas Fahri. (rmol)