logo
×

Minggu, 15 Januari 2017

43 Tahun Malari, Anti Cina, Shinzo Abe: Bangkitnya Gerakan Populis Dunia

43 Tahun Malari, Anti Cina, Shinzo Abe: Bangkitnya Gerakan Populis Dunia

NUSANEWS - Tak disangka dan dinyana kedatangan  Perdana Menteri Jepang (PM) Shinzo Abe ke Indonesa kali ini bertepatan dengan peringatan Peristiwa Malari (Malapekata 15 Januari) 1974. Saat itu Jakarta muncul kerusuhan yang menolak kedatangan PM Tanaka Kakuei. Kawasan Pertokoan Senen dibakar orang tak dikenal, mobil dihancurkan, show room mobil buatan Jepang diobrak-abrik.

Mahasiswa yang saat itu tengah berunjuk rasa untuk memprotes masuknya modal asing ke Indonesia di Fakultas Kedokteran UI Salemba dituduh dijadikan biang keladi. Ketua Dewan Mahasiswa UI yang saat itu dijabat Hariman Siregar ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan makar.

'Ya saya tahu Perdana Menteri Abe datang hari ini bertepatan dengan peringatan Malari. Sebenarnya tak beda dengan Tanaka, kedatangan Abe juga dalam rangka kerja sama ekonomi. Bedanya dulu Tanaka datang untuk menjalankan perintah Amerika Serikat untuk menyelamatkan Indonesia dari komunis, kini Abe datang untuk menyelamatkan posisi Jepang terhadap Cina di Asia dan Asia Tenggara dalam kerangka besar dari proyek super kapitalis,'' kata Hariman kepada Republika.co.id, (15/1). Hariman pun mengaku tahu bila kedatangan Abe akan disambut upacara kenegaraan dan dentuman tembakan meriam sebanyak 19 kali.

Bagi Hariman tak ada yang mengejutkan dengan situasi Indonesia di masa terakhir ini. Di sadari atau tidak negara akan masuk dalam pusaran 'deglobalisasi' di mana semua negara cenderung akan menutup diri dan tidak peduli terhadap soal negara lain. Kemenangan Donal Trump di AS, terpilihnya Rodrigo Duterte, keluarnya Inggris dari Uni Eropa, munculnya Norbert Hofer yang nyaris menjadi Presiden Austria, dan hingga adanya sosok Marine Le Pen yang kini menjadi kandidat kuat calon Presiden Perancis pada Pemilu Presiden Mei 2017, tentu menjadi bahan perhatian untuk melihat keadaan.

Menurut dia, gejala populisme tumbuh subur di berbagai belahan dunia. "Kemenangan Brexit dalam referendum yang disusul oleh kemenangan Donald Trumph pada Pemilu Presiden Amerika, sesungguhnya adalah jawaban tegas dan lugas dari kalangan kelas pekerja di kedua negara atas super kapitalisme yang terbukti gagal berbagi kemakmuran. Kini populisme yang anti liberalisasi, proteksionis dan anti asing telah berkuasa di Amerika yang menjadi jantung peradaban dunia. Bahkan di Asia yang sebenarnya tidak memiliki tradisi populisme, kini muncul sosok Duterte di Filipina yang begitu menggetarkan."

Dengan kata lain, lanjutnya, di dunia ini kini telah bangkit kembali populisme yang kerapkali salah kaprah. Ini terjadi karena terus berkepanjangannya krisis ekonomi dan berkuasanya 'super kapitalisme'. Poros dunia lama yang terbagi antara komunisme dan kapitalisme telah hancur. Celakanya, ketika kapitalisme berkuasa ternyata keadilan tak tercipta, pengangguran meledak, kesenjangan sosial menggila, dan negara menjadi 'chuavinis' seperti ala zaman Musolini dan Hitler ketika menguasai Eropa.

Untuk kasus Indonesia, munculnya 'populisme' yang salah karpah itu bukanlah isapan jempol bila melihat kondisi kesenjangan sosial. Mengutip data Bank Dunia terbaru, Indonesia menduduki negara ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Bayangkan saja, 1 persen rumah tangga terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Bila jaringnya diperlebar, 77 persen kekayaan nasional hanya dikuasai oleh 10 persen penduduk Indonesia. Selebihnya yang 90 persen hanya menikmati 23 persen kekayaan nasional.

Siapa saja orang-orang terkaya Indonesia itu? Mengutip data Majalah Forbes 5 tahun terakhir, diantara 50 orang terkaya Indonesia ada sekitar 44 orang dari keturunan Cina. Kenyataan itu menggambarkan betapa kita rentan dibakar oleh isu-isu rasial yang sebenarnya berakar dari kecemburuan sosial. Warga yang terbekap oleh kesulitan hidup akan merasa diperlakukan tidak adil akan dengan mudah menjadi penyokong gerakan populis  yang anti demokrasi dan anti pluralisme. Kami dari Indemo tentunya tidak mengharapkan itu.

"Tapi saya yakin, bagi sebagian besar warga, bukan persoalan ras yang menjadi akar persoalan. Melainkan persoalan bagaimana pemerintah berlaku adil bagi semua kalangan, bukan hanya mengutamakan kepentingan pemodal besar yang mungkin lebih banyak menghasilkan uang tapi dampaknya memicu kesenjangan dan kecemburuan sosial. Oleh karenanya Bhinneka Tunggal Ika tidak akan pernah tegak bila struktur ekonomi di masyarakat masih diwarnai oleh kesenjangan,'' kata Hariman.

Untuk itu, kebijakan ekonomi yang secara serius dan bersungguh-sungguh menurunkan angka kesenjangan sosial jelas lebih berguna ketimbang mengejar pertumbuhan tinggi yang porsi terbesarnya dinikmati oleh 1 persen warga. Terlebih lagi, rasio gini yang disepakati sebagai alat pengukur kesenjangan, dalam 10 tahun terakhir tidak banyak berubah, berkutat antara 0,39 – 0,43 yang artinya tetap lampu kuning alias peringatan.

Memang, tren kesenjangan sosial yang makin melebar sudah terjadi sejak 2011. Padahal ketika itu harga-harga komoditas ekspor Indonesia seperti batu bara dan CPO sedang booming namun nyaris tidak ada nilai tambah yang kita nikmati. Karena kita hanya mendapatkan pajak, biaya operasional dan gaji pegawai, selebihnya lari keluar negeri. Itu sebabnya mengapa sumber daya alam kita yang terus dikuras tidak memberikan manfaat yang berarti bagi kemakmuran masyarakat banyak.

Adapun angka kemiskinan, seperti halnya cerita pemerintah sebelumnya, senantiasa digambarkan persentasenya berkurang. Namun secara jumlah, mengutip data BPS Maret 2016, masih ada 28,01 jiwa. Kemiskinan yang paling parah di perdesaan. Baik indeks kedalaman kemiskinan maupun indeks keparahan kemiskinan dalam satu tahun terakhir justru cenderung meningkat.

Indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari sebelumnya, Maret 2015 dengan angka 2,55 menjadi 2,74 pada Maret 2016. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan juga meningkat dari 0,71 pada Maret 2015 menjadi 0,79 pada Maret 2016. Kondisi itu tentunya berkait erat dengan menurunnya nilai tukar petani (NTP) yang terus merosot dari 102,55 pada Januari 2016 menjadi 101,47 pada Juni 2016.

"Itulah sedikit gambaran tentang kesenjangan dan relatif ajegnya angka kemiskinan di negeri yang kita cintai dengan sepenuh jiwa. Tentu saja kita berharap, pemerintah dapat segera menyikapi gambaran besar yang sedang terjadi dan menurunkannya menjadi kebijakan yang dapat mengatasi segala persoalan yang ada,'' ujarnya.

Mengomentari soal menguatnya sikap anti asing -- dalam hal ini anti-Cina -- Hariman menegaskan, sebenarnya prasangka buruk terhadap ras tertentu yang memang masih hidup di sebagian masyarakat Indonesia tidak akan pernah berkembang menjadi gerakan populisme, atau lebih parah lagi konflik kekerasan sebagaimana yang sering terjadi, mana-kala ekonomi berjalan normal dan masyarakat kebanyakan dapat mengakses sumber-sumber penghidupan yang layak. Kesenjangan sosial antarwarga keturunan Cina dan lainnya tidak mencolok seperti misal di Tanjung Balai, Sumatra Utara, belum lama ini.

Pada soal keberpihakan pemerintah daerah kepada pengembang yang mengincar suatu kawasan di tanah milik daerah yang diduduki masyarakat, di satu sisi mungkin lebih menghasilkan kas daerah yang jauh lebih banyak ketimbang mengutip sewa atau retribusi dari masyarakat di tanah miliknya, namun di sisi lain dia telah membunuh mata pencarian ribuan orang, kendati mungkin pemerintah mengklaim telah merelokasi ke tempat yang lebih layak.

Sebab, lanjut Hariman, bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal, penggusuran bukan semata-mata menyangkut kehilangan tempat tinggal yang oleh karenanya kalau sudah ada relokasi yang diklaim layak huni selesai pula urusan.Terus bagaimana dengan warga yang semula buka bengkel kecil-kecilan, atau punya warung depan rumah yang ramai, tukang service kipas angin yang memiliki pelanggan di luar kampungnya, tukang cat atau tukang membetulkan atap rumah yang bocor?

Alhasi, kalau tidak ada sumber penghidupan di tempat baru sudah pasti lambat laun dia tidak mampu membayar sewa dan terusir dari rumah susun yang baginya terlihat megah dan mewah.

''Nah, setelah seseorang atau sekelompok orang yang terusir dari rumah susun karena tidak mampu membayar sewa, atau dibekap oleh kemiskinan yang akut, sudah pasti pula tidak akan pernah berminat mendengar pernyataan pemerintah yang begitu bangga atas pencapaian pertumbuhannya yang 5 persen. Sebab kemiskinan dan kesenjangan sosial bukan sekadar angka, melainkan nasib manusia yang tidak boleh dihinakan harkat kemanusiaannya. Terlebih dengan terus membiarkan kesenjangan sosial bergerak melebar sebagaimana kecenderungan dalam 5 tahun terakhir ini,'' katanya. (rol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: