
IDNUSA - Donald J. Trump resmi dilantik menjadi presiden Amerika yang baru pada Jumat, 20 Januari 2016. Melihat kepribadiannya, Trump merupakan sosok orang yang kontras dengan Barack Husain Obama. Kontras hampir dalam segala hal.
Imam Besar Masjid New York yang juga Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali mengatakan, Trump adalah anak dari seorang imigran putih yang berhasil dalam bisnis. Ayahnya memberikan modal sebesar 100 juta dolar AS untuk memulai bisnisnya ketika itu.
"Tentu modal 100 juta dolar AS ketika itu adalah jumlah fantastik. Dengan kata lain, Donald Trump tidak pernah merasakan apa dan bagaimana rasanya hidup termarginalkan," kata Imam Shamsi kepada Republika.co.id, kemarin.
Ia menerangkan, Trump juga tidak pernah hidup secara luas, bergaul dengan anak-anak dan pemuda dari kelompok etnis lainnya. Bahkan ada catatan sejarah yang mengatakan, ayahnya yang ketika itu sudah terjun di bisnis properti. Dia tidak mau menyewakan apartemen miliknya kepada kelompok non putih.
Trump juga dalam pandangan pribadinya (personal views) terhadap orang lain, baik secara agama maupun etnis dianggap negatif. Terhadap Islam misalnya, walau selama ini punya koneksi bisnis dengan orang-orang Islam. Tapi, dalam pandangan Trump, orang Islam adalah orang-orang yang perlu dicurigai.
Pandangan pribadinya ini yang mungkin melatarbelakangi Trump mengeluarkan pernyataan-pernyataan menyakitkan bagi orang-orang Islam. Demikian pula terhadap warga minoritas etnik lainnya.
"Warga Mexico dan Hispanic secara umum menerima kenyataan pahit dengan tuduhan-tuduhan buruk seperti perampok, pemerkosa dan lain-lain," jelasnya.
Menurutnya, jika kampanye Obama menyatukan, kampanye Trump jelas memecah belah. Bahkan ada sebagian yang mengatakan slogan kampanye Trump "Make America Great Again" dimaknai sebagai mengembalikan supremasi kulit putih.
Ini nampak jelas, di dalam sejarah Negara Amerika baru ada kandidat yang secara terbuka didukung oleh kelompok Ku Klux Klan (KKK). Berbeda dengan Obama, yang kemenangannya dirayakan hampir di berbagai belahan dunia.
Sementara, kemenangan Trump disambut oleh gelombang protes di berbagai kota Amerika. Bahkan pelantikannya diwarnai oleh protes besar. Konon sehari setelah pelantikan Trump ada women march, protes kaum wanita ke Washington DC.
Mungkin yang terasa geli adalah pelantikan Trump oleh sebagian orang dimaknai sebagai awal dari berakhirnya kepresidenannya. "Terus terang belum pernah terlihat di manapun sinisme masyarakat setinggi itu," ujar Imam Shamsi.
Ia mengungkapkan, yang paling tragis dari semua itu adalah ancaman terhadap civil rights, kebebasan warga dalam mengekspresikan diri dan opini mereka. Disebut-sebut bahwa pasal hak-hak sipil telah dicabut dari website resmi kepresidenan Amerika.
Mungkin yang akan paling terasa oleh masyarakat Amerika ke depan adalah rencana political revenge Donald Trump. Rencana itu didukung oleh mayoritas Republikan untuk menghapus apa yang selama ini dikenal dengan Obama Care. Selain itu, masih banyak sederet kekhawatiran-kekhawatiran lainnya.
"Tidaklah berlebihan, dua hari lalu saya sempat makan siang dengan seorang Rabi Yahudi yang berpengaruh di New York. Beliau mengatakan bahwa baru kali ini dia merasakan kekhawatiran yang besar terhadap negaranya," katanya.
Rabi Yahudi tersebut tidak hanya mengkhawatirkan komunitasnya, tetapi juga negaranya. Tentu kekhawatirannya ada alasannya. Imam Shamsi menjelaskan, di tengah arus gelombang persaingan global, Rusia yang selama ini dinyatakan sebagai lawan kelas satu Amerika berhasil melakukan infiltrasi.
Rusia sedikit banyaknya mempengaruhi hasil akhir dari pemilu Amerika kali ini. Ia mengungkapkan, lalu akan kemana Amerika, bagaimana warna kebijakan domestik yang akan diambil oleh Trump. Kira-kira akan mengarah kemana kebijakan luar negerinya.
"Jawaban yang pasti, jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Hanya Tuhan yang tahu kemana arah berpikir sosok yang bernama Donald Trump ini," jelasnya.
Ia menegaskan, yang disayangkan, ketika ada pihak-pihak yang tergesa-gesa memberikan pujiannya kepada Trump. Apalagi kalau pujian itu datang dari pejabat negara lain, khususnya Indonesia.
Menurutnya, pujian tersebut selain tidak pada tempatnya, juga bisa dianggap tidak sensitifitas (insensitive) kepada mayoritas bangsa Amerika itu sendiri. Apalagi kepada masyarakat Muslim Indonesia dan dunia.
"Akhirnya bagi kami warga Muslim di Amerika, kekhawatiran dan perasaan tidak menentu (uncertainty) itu ada," ujarnya.
Tapi, ditegaskan dia, pihaknya juga sadar Amerika bukan hanya seorang Trump. Amerika adalah negara yang terbangun di atas dasar konstitusi yang solid di satu sisi. Juga sebuah negara dengan masyarakat yang menghormati keragaman dan toleransi.
"Maka setelah membangun keyakinan kepada kekuasaan Tuhan, kami juga membangun keyakinan kepada konstitusi yang menjamin hak-hak dan kebebasan kami dalam beragama," ungkapnya.
Ia menambahkan, tentu juga tidak kalah pentingnya membangun kepercayaan bahwa memang ada kasus-kasus yang buruk dari kelompok kecil Amerika. Tapi di luar sana masih banyak lagi orang-orang Amerika yang baik.
Sehingga harapan dan optimisme selalu ada. Bahwa di ujung terowongan panjang itu pasti ada cahaya dan akan kembali bersinar menyinari bumi Amerika serta alam semesta, Insya Allah. (rol)