![]() |
Ribuan Karyawan Freeport Gelar Aksi di Timika |
IDNUSA - Masih alotnya negosiasi antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia berimbas pada aktivitas produksi tambang mineral di areal tambang Grasberg, Tembagapura, Mimika, Papua. Freeport mengklaim sudah menghentikan produksinya karena pemerintah belum juga mengeluarkan izin ekspor mineral konsentrat.
Akibat persoalan tersebut, Freeport mulai merumahkan karyawannya. Pegawai perusahaan tambang raksasa itu pun mulai resah. Seperti dilansir Antara, sekitar seribuan karyawan yang mengataskanamakan Gerakan Solidaritas untuk Freeport pada Jumat (17/2) berunjuk rasa di kantor Bupati Mimika. Mereka menuntut larangan ekspor dicabut.
Juru Bicara Gerakan Solidaritas Peduli Freeport, Fredric Magai, meminta Presiden Joko Widodo dan DPR memikirkan nasib ribuan orang yang kini bekerja di Freeport Indonesia. Dalam catatan perusahaan, saat ini ada sekitar 32.416 orang pekerja langsung PT Freeport Indonesia dan kontraktor.
“Kami tidak mau menjadi korban dari kebijakan yang dibuat seakan-akan atas nama rakyat. Namun rakyat yang mana? Kami meminta agar izin ekspor dan operasional perusahaan tetap berjalan normal," kata Fredric.
Fredric mempersilakan pemerintah dan PT Freeport Indonesia bernegosiasi. Namun, dia meminta izin ekspor bisa segera diberikan agar karyawan bisa kembali bekerja normal sehingga tidak menimbulkan keresahan. "Kami rakyat pembayar pajak aktif. Jangan mengorbankan kami sebagai karyawan,” katanya.
Larangan ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia diberlakukan sejak Januari lalu. Hal itu dilakukan karena perusahaan belum juga merealisasikan pembangunan pabrik pemurnian atau smelter yang sudah ditetapkan dalam UU Mineral dan Batu Bara dan diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2014.
Pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur perusahaan tambang mineral harus mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain itu, diterbitkan juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengatur perusahaan tambang harus membangun smelter dalam lima tahun dan melepas 51 persen sahamnya dalam jangka waktu 10 tahun.
Jika perusahaan berkomitmen dan membuat perjanjian akan mematuhi seluruh aturan tersebut, maka izin ekspor konsentrat akan dikeluarkan pemerintah. Adapun ekspor konsentrat akan dikenakan tarif baru yang aturannya dikeluarkan Kementerian Keuangan dengan tarif maksimal hingga 7,5 persen.
Freeport sebenarnya sudah bisa mengajukan izin ekspor karena pada Jumat pekan lalu pemerintah telah resmi mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Pemerintah mengklaim perubahan status tersebut langsung diajukan oleh Freeport.
Namun, perusahaan berkukuh belum belum menyetujui beberapa poin dalam IUPK karena dinilai mengancam stabilitas investasi dan kepastian fiskal. Beberapa aturan yang ditolak Freeport antara lain kewajiban pelepasan saham sebesar 51 persen dan penerapan pajak prevailing yang bisa berubah sesuai aturan perundang-undangan. Hingga saat ini, negosiasi masalah tersebut masih buntu. (kp)