logo
×

Minggu, 19 Maret 2017

RI Deportasi Dua Wartawan Prancis yang Hendak Meliput di Papua

RI Deportasi Dua Wartawan Prancis yang Hendak Meliput di Papua
Franck Jean Pierre Escudie (paling kiri) dan Basille Marie Longchamp (paling kanan) menghadiri jumpa pers di kantor imigrasi Tembagapura, Provinsi Papua, sebelum dideportasi pada Jumat (17/03).
IDNUSA - Pemerintah Indonesia mendeportasi dua wartawan asal Prancis yang hendak melakukan peliputan di Kabupaten Timika, Provinsi Papua, pada Jumat (17/03).

Langkah pendeportasian terhadap Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp itu dikemukakan Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, Agung Sampurno.

"Yang bersangkutan datang ke Indonesia menggunakan visa on arrival, kemudian melakukan kegiatan jurnalistik. Kesalahannya melanggar Pasal 122 Undang-Undang Imigrasi karena izin tinggalnya tidak sesuai dengan kegiatan yang dilakukan," kata Agung kepada BBC Indonesia.

Ketika ditanya soal pernyataan lisan Luhut Pandjaitan yang mengizinkan semua jurnalis meliput di Papua, Agung menegaskan isi undang-undang imigrasi belum berubah.

"Orang asing yang tinggal di Indonesia izin tinggalnya harus disesuaikan dengan motif, maksud, dan tujuan. Tujuan bekerja, belajar, wisata, jurnalis, itu izin visanya beda-beda. Visa on arrival itu untuk kegiatan wisata. Jadi urusannya bukan Papua, nggak ada urusannya sama Papua," kata Agung.

Kedua wartawan Prancis itu juga berencana untuk merekam keindahan Raja Ampat, Papua Barat, dari udara.
Gunakan helikopter

Berdasarkan hasil wawancara kantor imigrasi Tembagapura terhadap Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp, mereka diketahui sampai di Jakarta dari Prancis pada 9 Maret 2017.

Dua hari kemudian, petugas imigrasi mendapati mereka berada di lapangan udara Mozes Kilangin, Timika, dan akan menggunakan helikopter untuk pengambilan gambar dari helikopter.

Dalam pemeriksaan mereka mengaku sebagai kru tim The Explorers Network untuk pembuatan film dengan judul Papous La Grande Aventure atau petualangan besar di Papua.

Hasil pemeriksaan kantor imigrasi Tembagapura mendapati bahwa kedua pria itu tidak memiliki izin keimigrasian untuk kegiatan jurnalistik. Berdasarkan hal tersebut, mereka dideportasi ke Paris, Prancis, pada 17 Maret 2017.

Dalam kunjungannya ke Papua pada 9 Mei 2015 lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan akan mencabut persyaratan ketat bagi jurnalis asing untuk memasuki Papua.
Liputan di Papua

Pada November 2015, Luhut Pandjaitan yang kala itu menjabat Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengatakan jurnalis asing dapat dengan leluasa meliput di Papua sebagaimana diperintahkan Presiden Joko Widodo, pada Mei 2015.

"Katakan pada saya, siapa yang bikin masalah itu di sana? (Seharusnya) Sudah tidak ada lagi hambatan (bagi wartawan di Papua)," kata Luhut dalam diskusi bersama para wartawan di acara Lunch With Minister Panjaitan yang diselenggarakan Jakarta Foreign Correspondent Club, 11 November 2015.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengatakan wartawan asing yang terakreditasi di Jakarta masih dibatasi untuk pergi ke Papua.

"Mereka masih harus minta surat jalan ke Badan Intelkam Polri , juga masih harus memberitahu jadwal, tujuan, tempat dan waktu peliputan di Papua ke Kementerian Luar Negeri," ujar Andreas kepada BBC Indonesia.

Andreas mengamini bahwa semua jurnalis harus mengajukan visa wartawan ketika meliput di sebuah negara. "Persoalannya, seharusnya tidak perlu ada visa khusus ke Papua, bukan?"

Berdasarkan wawancara kepada 107 wartawan, redaktur, dan lembaga swadaya masyarakat, HRW menemukan bahwa persoalan pembatasan peliputan jurnalis asing telah berlangsung selama 25 tahun. (bcc)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: