logo
×

Senin, 03 April 2017

Busyro Muqoddas: DPR Kembali Mencoba Melemahkan, Pasal Dalam Revisi UU Memutilasi KPK

Busyro Muqoddas: DPR Kembali Mencoba Melemahkan, Pasal Dalam Revisi UU Memutilasi KPK

IDNUSA, JAKARTA - Bekas bos KPK ini siap tampil di depan menolak rencana re­visi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia pun meminta DPR segera menghentikan sosialisasi revisi terhadap beleid komisi antirasuah tersebut.

Sebelumnya, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) dan Badan Keahlian Dewan (BKD) melakukan sosialisasi atas ren­cana revisi Undang-Undang KPK. Sosialisasi telah dilakukan ke sejumlah perguruan tinggi untuk menjelaskan poin-poin usulan revisi serta menerima masukan dari berbagai pihak. Berikut sikap Busyro Muqoddas terkait rencana revisi tersebut;

Kenapa anda menolak ren­cana revisi dan meminta DPR menghentikan sosialisasinya?
Karena DPR kembali men­coba melemahkan KPK, dengan cara merevisi Undang-Undang KPK. Meski alasannya untuk memperkuat, tapi kenyataannya tidak.

Atas dasar apa anda berang­gapan begitu?
Ada dua alasan. Pertama, argumen filosofis, sosiologis, dan yuridisnya sangat lemah. Itu tampak pada sejumlah pasal, di antara pasal - pasal itu justru memperlemah dan memutilasi KPK. Memutilasi KPK tentu artinya memutilasi sistem pem­berantasan korupsi.

Pasal apa saja yang diang­gap memperlemah itu?
Empat pasal yang sebelum­nya ramai ditolak oleh banyak kalangan itu.

Alasan kedua apa?
Kemudian yang kedua, kalau DPR memaksakan sosialisasi itu jadi perbuatan yang sia-sia. Toh, dari kunjungan-kunjungan yang dilakukannya itu, tidak ada satupun yang mendukung revisi. Semuanya menolak. Kan eman-eman waktunya, duitnya, dan sebagainya. Padahal DPR kan harus beri contoh dengan benar penggunaan anggaran negara.

Bagaimana kalau DPR tetap meneruskan rencana revisi itu?
Kalau itu tetap dilakukan ya saya hanya bisa merasa kasihan pada teman-teman di DPR. Rencana revisi ini kan diajukan bersamaan dengan kasus mega korupsi Kartu Tanda Penduduk Elekteonik (e-KTP). Saya yakin rencana revisi ini hanya akan menambah rasa ketidakper­cayaan masyarakat, atau public distrust kepada DPR.

Lantas kalau DPR ingin memperkuat KPK, mereka harus bagaimana?
Kalau memang ingin mem­perkuat KPK, tidak bisa dilakukan sekarang. DPR harus men­dahuluinya dengan cara kerja sistematik. Pertama harus mer­evisi dulu Undang-Undang Tipikor, kemudian merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), lalu merevisi Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), set­elah itu baru merevisi Undang-Undang KPK.

Selanjutnya DPR juga har­us merevisi Undang-Undang Kepolisian, dan Undang-Undang Kejaksaan, serta yang terakhir juga harus merevisi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Ini kalau DPR mau serius.

Rencana revisi ini kan be­lum sampai ke Presiden. Ada permintaan kepada Istana terkait hal ini?
Nah kami berterimakasih kepada Presiden karena pernah menunda. Justru lebih bagus lagi kalau jadwal pembahasan revisi itu jangan ditunda, tapi di-drop aja dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) itu.

Drop saja, alasannya kan me­mang tidak kuat. Apalagi ketika ini diajukan bersamaan dengan kasus mega korupsi e-KTP itu. Kalau toh mau direvisi ya nanti, setelah tahapan - tahapan sistematik tadi dipenuhi.

Oh ya, tanggapan anda ten­tang isu SP2 Novel?
Pimpinan KPK sampai saat ini masih proses untuk meninjau kembali SP2 itu. Menurut saya, itu perlu dikonkretkan untuk dicabut.

Kenapa harus dicabut?
Karena alasan pemberian SP2 itu saya nilai kurang kuat. Kritik dari Ketua 9.37.16 PM (Wadah Pegawai) itu seharusnya tidak bisa dijadikan satu alasan untuk memberikan SP2.

Apalagi situasinya sekarang yang bersangkutan sedang meminpin Satgas kasus mega korupsi e-KTP.

Kalau pandangan anda soal kebijakan yang ditentang h Novel?
Menurut saya Pimpinan KPK dan jajarannya perlu memberikan porsi kepada penyidik indepen­den. Mereka sudah mampu, ter­masuk yang independen itu kan Novel dan kawan-kawan yang sudah berhenti dari Kepolisian. Itu kan sumbangan terbesar komitmen mereka kepada KPK. Sampai mimpi menjadi jenderal cokelat kan hilang demi KPK. Seperti itu kan modal SDM (Sumber Daya Manusia - red) yang cukup besar. (rmol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: