logo
×

Senin, 03 April 2017

Suparman Marzuki: Sebaiknya MA Jadi User Saja, Tidak Usah Terlibat Dalam Rekrutmen Hakim

Suparman Marzuki: Sebaiknya MA Jadi User Saja, Tidak Usah Terlibat Dalam Rekrutmen Hakim

IDNUSA, JAKARTA -  Dosen hukum yang pernah menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Hakim Sarpin Rizaldi ini mendor­ong pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Revisi Undang - Undang (RUU) Jabatan Hakim. Menurut dia, revisDosen hukum yang pernah menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik Hakim Sarpin Rizaldi ini mendor­ong pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Revisi Undang - Undang (RUU) Jabatan Hakim. Menurut dia, revisi itu bisa memperkuat kekuasaan kehakiman. itu bisa memperkuat kekuasaan kehakiman.

Sebelumnya, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) meminta Presiden Jokowi menolak revisi undang-undang yang merupa­kan usulan DPR itu. Menurut mereka, usulan revisi undang-undang itu merupakan bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Pasalnya, selama ini manajemen pengelolaan ha­kim berpegang pada sistem satu atap. Sehingga, MA (Mahkamah Agung) memiliki kewenangan mutlak terhadap pengelolaan hakim.

Berikut penjelasan Suparman Marzuki terkait manfaat dari revisi Undang-Undang Jabatan Hakim;

Sebenarnya penguatan seperti apa yang anda maksud dari revisi Undang-Undang Jabatan Hakim?
Kekuasaan kehakiman yang akan dikuatkan itu menyang­kut institusi, dan menyangkut personalitas hakim. Salah satu aspeknya adalah rekrutmen. Kalau kita punya sistem input yang baik, rekrutmen yang baik, itu artinya kita investasi sumber daya kan. Karena calon-calon hakim tingkat pengadilan negeri (PN) itu kelak akan jadi hakim agung. Artinya kita sudah me­nyiapkan embrio calon hakim agung, kalau proses rekrutmen­nya dibenahi.

Bentuk pembenahannya seperti apa nantinya?
Saya waktu di KY pernah menyarankan agar MA jadi user saja, dia jangan jadi bagian yang terlibat (dalam rekrutmen hakim). Dia tinggal memberikan kriteria -kriterianya saja.

Mengapa begitu?
Pertama untuk menghindar­kan MA dari syakwasangka yang kurang baik. Karena yang namanya rekrutmen itu kan pasti ada hal-hal yang secara administratif bisa men­imbulkan prasangka bagi MA. Kalau sebagai user dia cukup berikan rambu-rambunya saja. Tapi KY (Komisi Yudisial) juga jangan terlibat secara teknis, dan lebih berfokus ke­pada pengawasannya. Tinggal betuk timsel atau apa yang akuntabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan.

Tapi kinerja KY sendiri kan dipandang belum optimal?
Kalau soal rekrutmen, saya enggak setuju dengan pandan­gan itu. Rekrutmen itu menurut saya sudah berjalan baik. Bahwa orangnya yang dikirim kualitas­nya begitu kan bukan salah KYjuga. Memang sumber dayanya adanya itu mau diapain lagi? Oleh karenanya mungkin me­mang harus dibenahi lagi sistem rekrutmennya. Rekrutmennya sebaiknya dimulai dari tingkat PN (Pengadilan Negeri).

Itu kan mengenai seleksi. Mengenai pengawasan bagaimana?
Kalau mengenai pengawasan menurut saya memang perlu diperbaiki. Maka dari itu, sa­ya setuju untuk merevisi pa­ket Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana di dalamnya terdapat Undang-Undang KY.

Saya menyarankan, agar da­lam revisi tersebut kewenangan punishment diberikan kepada KY. Tapi hanya yang sifatnya bukan pemberhentian. Kalau pemberhentian harus lewat ma­jelis kehormatan. Kalau non pemberhentian, cukup di KY.

Kenapa kewenangan itu harus diserahkan kepada KY?
Hakim yang nyata melanggar itu sama dengan tidak profesion­al. Tidak profesional itu harus dimintai pertanggungjawaban. Nah KY kan fugsinya meminta pertanggungjawaban personali­tasnya. Jadi tidak ada masalah. Toh, ini kan sama sekali tidak mempengaruhi independensi hakim. Independensi enggak ada di situ. Independensi hakim itu ada di tiga wilayah, memeriksa, mengadili, dan memutus. Begitu sudah diputus, selesai.

Pembahasan undang-un­dang kan butuh waktu. Ada solusi untuk memperkuat lembaga peradilan kita?
Ada, dalam hal ini pemerintah bisa melakukan pembenahan ad­ministrasi. Administrasi perkara, administrasi peradilan baik di MA sampai pengadilan negeri, juga di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini hal yang jarang dising­gung, padahal di sini awal proses terjadinya masalah dalam proses pradilan.

Karena pra-peradilan, masa peradilan, dan pasca peradilan itu melibatkan administrasi perkara. Kepaniteraan itu men­jadi dominan sekali di sana.

Bagian ini yang menurut saya enggak perlu nunggu peruba­han undang-undang. Itu bisa dilakukan aparatur pemerintah. DPR dalam hal ini Komisi III juga punya peran. Komisi III ada baiknya menyampai­kan kepada MenPAN (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) dan pihak terkait supaya bisa dilakukan. Coba itu diaudit administrasi peradilan di semua tingkat itu. Akan ketahuan, keli­hatan boroknya. Banyak praktik yang bisa diungkap di situ. Itu administrasi bisa dibenahi, dan bisa jadi pintu masuk mem­perkuat kehakiman.

Anda yakin dengan pem­benahan administrasi saja bisa memperbaiki lembaga peradilan kita?
Administrasi itu adalah aspek yang tidak pernah disentuh. Kita selama ini hanya fokus pada hakim. Hakim disuap, hakim melanggar etik, dan sebagainya. KY pun fokusnya kan ke situ, karena tidak ada kewenangannya.

Administrasi sebenarnya ke­wenangan MA dan pemerintah, tapi ini enggak pernah disentuh. Padahal, orang mau berperkara, proses panggil -memanggil, lalu mengadministrasikan proses peradilan, mengadministrasi­kan pasca peradilan itu urusan administrasi. Tugas hakim itu hanya diujung, sudah dihidan­gkan di depan meja. Kadang yang merundingkan putusan itu bagian administrasi, sehingga kadang dia bisa jual hakim. Hakim enggak melakukan apa -apa, tapi dibilang minta uang. Hakim jadi dianggap sebagai pihak yang bersalah, pada­hal masalah sebenarnya ada di bagian lain.

Jadi sebenarnya yang mem­buat bobrok peradilan kita itu hakim apa paniteranya?
Gini, hakim itu ada pada proses memeriksa, mengadili, dan memutus. Itu wilayah ke­wenangannya. Orang yang mau bermain, paling bermainnya hanya di situ dia.

Ketika pemeriksaan, menga­dili, dan akan memutus. Tetapi, ada aspek lain yang sebelum dilakukan, dan setelah dilaku­kan itu menjadi urusan staf administrasi. Kadang -kadang staf administrasi itu juga bek­erjasama. Oknum pengadilan bekerjasama itu dengan oknum hakim menjualbelikan perkara. Kan ada tuh. Sudah terbukti kan di pengadilan. Yang sudah per­nah kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK kan itu.

Seharusnya sistem admin­istrasi peradilan kita seperti apa?
Sistem administrasi kita ini adalah sistem administrasi pada umumnya. Harusnya ada desain sendiri dong. Desain yang sesuai dengan tuntutan peradilan, yang cepat, biaya murah, akuntabel, dan lain-lain yang sesuai dengan prinsip peradilan. Nah apakah birokrasi peradilan sudah memenuhi itu? Dari yang saya lihat belum. Buktinya berbagai macam perilaku menyimpang dilakukan oleh oknum pegawai pengadilan di semua level. (rmol)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: