logo
×

Selasa, 06 Juni 2017

Akhirnya, Indonesia Punya Alat Navigasi Penerbangan Sendiri

Akhirnya, Indonesia Punya Alat Navigasi Penerbangan Sendiri

NUSANEWS, TANGERANG - Satu lagi karya anak bangsa dihasilkan dalam bidang penerbangan, yaitu sebuah alat navigasi penerbangan bernama Automatic Dependent Suveillance Broadcast (ASD-B).

Alat navigasi penerbangan tersebut tak kalah canggih dengan buatan Prancis. Dengan kehadiran alat yang diproduksi di dalam negeri, maka Indonesia tidak perlu mengimpor lagi. Pengembangan alat tersebut merupakan hasil sinergi antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Badan Penelitian Pengkajian Teknologi (BPPT), dengan industri.

ADS-B merupakan sistem navigasi penerbangan di mana setiap pesawat terbang memancarkan data penerbangannya (identitas, koordinat, ketinggian, kecepatan, dan sebagainya) ke segalah arah secara terus menerus melalui gelombang radio. Data tersebut diterima oleh perangkat penerima di dalam pesawat pada area tertentu yang tidak terjangkau oleh radar, sehingga data penerbangan yang diterima akan menjadi relatif lebih banyak.

Perekayasa Madya Pusat Teknologi Elektronika BPPT, Sardjono Trihatmo mengatakan, ADS-B memiliki keunggulan lebih besar dibandingkan radar. ADS-B mampu mendeteksi pesawat hingga jarak lebih dari 25oNm, pada ketinggian di atas 29 ribu kaki.

Kemampuan menerima sinyal tanpa terpaku pada sebuah sudut tertentu membuat ADS-B lebih unggul dibandingkan radar.  "Broadcast tidak bergantung dari segi sudut. Kalau radar, sudut putar dan elevasinya terdapat blank spot, ada daerah yang tidak terdeteksi," ujar Sardjono kepada Metrotvnews.com, saat ditemui di kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan.

Selain lebih kuat menjangkau sinyal pesawat, lADS-B juga lebih murah dari sisi biaya operasional dibandingkan radar. Untuk pengadaannya, nilai harga ADS-B masih cukup ekonomis.

"Dibandingkan dengan radar, ADS-B jauh lebih ekonomis. Radar itu mahal, mesti kalibrasi, perputarannya lama-lama bisa aus, operasionalnya pun mahal," ucap Sardjono.

Selain digunakan untuk penerbangan sipil, Sardjono mengatakan, ADS-B juga baik digunakan sebagai alat pendeteksi cuaca. Namun, sebagai alat pendeteksi cuaca, masih dalam tahap penyempurnaan yang dilakukan oleh BPPT dan BMKG.

Sebelumnya, Indonesia selalu mengimpor ADS-B dari Prancis. Belajar dari Prancis, kemudian industri mengusulkan untuk melakukan pengujian pengembangan ASD-B sendiri. Sinergi antara industri, BPPT, dan didukung Kemenristekdikti dari segi pendanaan, membuat BPPT terdorong melakukan uji coba.



BPPT telah melakukan pengkajian dan pengembangan sistem pemantau penerbangan berbasis ASD-B, meliputi sistem pemantauan penerbangan sipil nir radar yang digunakan untuk stasiun darat sejak 2007. Prototipe industri sistem ADS-B yang diproduksi oleh PT INTI telah diuji kehandalannya dan mampu untuk menerima dan mengolah data penerbangan yang menggunakan standar internasional.

Pada Maret 2017, BPPT resmi menerima sertifikasi inovasi ADS-B dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Sertifikat ini diberikan setelah ADS-B membuktikan pemenuhan terhadap Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 331 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Operasional 171-08 (Advisory Circular Part 171-08).

Inovasi ADS-B telah dihilirisasikan kepada industri yakni PT INTI. Sertifikasi ini menjadi syarat utama agar ADS-B dapat dioperasikan dalam dunia penerbangan Indonesia.

Direktur Pusat Teknologi Elektronika BPPT, Yudi Purwanto, mengatakan, terdapat sejumlah persyaratan agar ADS-B bisa mengantongi sertifikat. Pertama, ADS-B diuji coba di mesin ADS-B Squiter Generator untuk pemancaran sinyal. Pengujian yang dilakukan di Laboratorium Navigasi BPPT maupun pengujian lapangan stasiun darat di Menara Navigasi BPPT di Puspiptek Serpong selama kurang lebih satu tahun.

Nantinya ADS-B akan dipasangkan di pegunungan, bandara, atau tempat lainnya. "Untungnya di Tangerang Selatan ini kondisinya bagus karena udara panasnya luar biasa," ucap Yudi.



Kemudian, ADS-B diuji ketahanan sinyalnya di sebuah ruangan bernama BPPT Chamber. Dalam ruangan sepanjang 20 meter, lebar 12 meter, dan tinggi 10 meter itu sinyal ponsel tidak bisa masuk. Di dalam ruangan itu diuji coba apakah ADS-B masih bisa beroperasi, meskipun ada gangguan sinyal.

"Selama percobaan kita juga sambil membandingkan dengan ADS-B milik Prancis," tuturnya.

Saat ini, di Indonesia telah terpasang 31 stasiun darat ADS-B yang mencakup seluruh ruang udara Indonesia untuk phase En-route pada ketinggian di atas FL290; 10 stasiun darat terintegrasi dengan JATSC (Jakarta), dan 21 stasiun darat terintegrasi dengan MATC (Makassar). Namun, ADS-B yang terpasang itu masih impor.

Indonesia memiliki 295 bandar udara. Sekitar 255 di antaranya merupakan bandar udara non-radar yang berpotensi membutuhkan perangkat ADS-B untuk Mini ATC dan Airport Ground Movement Monitoring, serta banyak stasiun darat di lokasi lain. Tahun ini sistem ADS-B direncanakan akan dipasang di Bandara Papua.

Saat ini, pengguna ADS-B adalah Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (AirNav Indonesia). AirNav telah membeli beberapa unit ADS-B dari PT INTI. (mtv)
Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: