
NUSANEWS, JAKARTA - JAKARTA - Tulisan remaja asal Banyuwangi, Jawa Timur, Asa Firda Inayah alias Afi yang diunggah ke jejaring sosial Facebook dituding plagiat.
Diunggah ke akun Facebook miliknya, Afi Nihaya Faradisa, tulisan berjudul 'Belas Kasih Dalam Agama Kita' itu dinilai mengutip tulisan Mita Handayani, yang disebut telah menulis pada 30 Juni 2016.
Terkait tudingan tersebut, Afi pun membantah dengan tegas saat ditemui Bayu Sutiyono dari KOMPAS TV di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017).
Dia pun menjawab dengan cepat dan singkat, "tidak", saat ditanyakan terkait dugaan tersebut.
Mata Asa Firda Inayah, atau kerap dipanggil Afi, tampak berkaca-kaca saat dimintai konfirmasi mengenai dugaan plagiarisme dalam tulisannya yang berjudul "Belas Kasih Dalam Agama Kita" yang diunggah di akun Facebooknya pada 25 Mei 2017Kamis (1/6). (capture video)
Afi mengaku belum mengetahui tuduhan plagiarisme yang ditujukan kepadanya. Dia mengatakan belum membuka media sosial.
"Saya tidak tahu, saya belum banyak bukan sosmed," ucapnya.
Namun, kata dia, dia sudah banyak menulis dan tulisannya banyak yang di-copy orang.
"Saya memang menulis di akun-akun lama, dari tahun 2012 dan beberapa tulisan di akun Afi tulisan lama. Akun lama Afi sudah di-take down," kata Afi.
Ketika Bayu membacakan bahwa tulisan Afi mengenai "Belas Kasih Dalam Agama Kita" itu disebut mengutip tulisan Mita Handayani, yang disebut telah menulis pada 30 Juni 2016, dia menjawab tegas.
"Mita Handayani, minta konfirmasi aja sama akun Mita Handayani," kata Afi.
Dan, melalui akun Facebook miliknya, Mita Handayani pun menuliskan status yang merupakan klarifikasi terkait tudingan plagiarisme yang ditujukan untuk Afi.
Dalam klarifikasinya, tak disangka Mita membela sosok Afi, bahkan memujinya sebagai seorang anak yang cerdas.
Bukan cuma itu, dalam tulisannya nan sejuk Mita Handayani pun meminta publik yang selama ini merisak Afi untuk memaafkannya jika memang terbukti melakukan plagiarisme.
"Aku pernah salah. Kamu pernah salah. Kita semua pernah salah. Jika usaha Afi kali ini dianggap kesalahan, aku mohon dimaafkan... Afi merasa harus berbuat sesuatu, dan jika itu salah, mohon dimaafkan," tulis Mita Handayani.
Berikut tulisan klarifikasi Mita seperti dilansir TRIBUNNEWS dari akun Facebook miliknya:
Jadi gini..
Betul. Aku pernah menulis sebuah catatan ringan pada Ramadan tahun lalu yang berjudul "Agama Kasih", yang screenshot-nya beredar saat ini.
Tulisan itu masih serangkai dengan "Lampu Sang Khalifah" yang juga tayang di tanggal yang sama.
Keduanya aku tulis untuk meramaikan momen Ramadan saat itu, dan sebenarnya justru lebih ditujukan kepada segmen pembaca anti Islam agar bisa mengapresiasi sisi lain Islam yang mungkin jarang mereka dengar.
Bahwa Islam tidak monolitik, bahwa Islam juga terdiri dari kutub-kutub tafsir yang saling berkompetisi. Dan bahwa sebagian kutub itu juga menyajikan wajah Islam yang sejuk.
Sejak dulu, tulisanku sudah biasa disalin, diproduksi ulang, dan disebar orang lain di grup dan tempat-tempat yang kadang aku sendiri tidak tahu.
Aku tidak pernah ambil pusing soal itu. Menulis bagiku adalah soal lain. Meminjam istilah Pram: bekerja untuk keabadian. Dan dalam konteks ini, bukan nama yang ingin kuabadikan.
Aku tidak pernah mengenal dan berkomunikasi dengan Afi Nihaya Faradisa sebelum ramai-ramai ini. Kalau Afi merasa terinspirasi oleh salah satu tulisanku, aku ikut merasa senang.
Afi anak yang cerdas, dan aku sudah sering melihat tulisannya bertebaran juga sebelum ini.
Kalau ada kesalahan fatal yang Afi lakukan, itu adalah karena belakangan ini dia mulai berani menyentuh isu agama, sehingga mengundang gelombang pembenci baru yang siap mencari-cari dan menguliti semua kesalahannya yang lain.
Terkait tulisan yang ramai diperbincangkan, yang bisa kukatakan adalah, tulisan itu mungkin berangkat dari keprihatinan Afi terkait aksi Bom Kampung Melayu sebelumnya.
Tulisan itu ditayangkan Afi dalam niat untuk membela nama agamanya dari tuduhan terorisme dan kebencian.
Dia merasa perlu segera menanggapi, dan mungkin berpikir bahwa tulisan itu adalah respons yang tepat.
Aku pernah salah. Kamu pernah salah. Kita semua pernah salah. Jika usaha Afi kali ini dianggap kesalahan, aku mohon dimaafkan.
Mungkin kita yang terlalu membebaninya, sehingga Afi merasa memiliki tugas moral untuk terus menginspirasi pembacanya, terutama di waktu-waktu genting ketika justru yang lebih tua tak bisa diandalkan untuk menyejukkan keadaan. Afi merasa harus berbuat sesuatu, dan jika itu salah, mohon dimaafkan.
AKu pernah salah. Kamu pernah salah. Kita semua pernah salah. Tak apa-apa, sayang.. matahari masih terbit esok hari. Kamu akan terbang lebih tinggi lagi, dengan sayap yang lebih kuat lagi, dan pengalaman hidup yang lebih kaya lagi dari kebanyakan manusia.
PS: Oh iya, soal referensi lalat yang dipermasalahkan. Betul itu salah referensi, thanks ya koreksinya. Yang betul adalah dari Kitab Fayd Al-Qadir karya Imam Al-Munawi.
Berikut ini adalah tulisan Mita Handayani saat menanggapi soal tulisan Afi
Kemarin sengaja kugembok tulisan ini agar tidak membuat keributan. Tapi karena sudah terlanjur ribut, mudah-mudahan ini bisa membantu menenangkan keributan. Silakan, bagi yang minta tulisan ini dibuka lagi. Cukup ya, tidak usah diperpanjang lagi.
AGAMA KASIH
“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya (untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya.” (HR. Muslim).
Banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan, terutama ketika dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden berdarah yang mengatasnamakan agama ini. Namun jika kita menelisik sedikit lebih dalam saja, kita akan menemukan bahwa salah satu doktrin sentral Islam ternyata memang berputar pada prinsip belas kasih.
Kalimat basmalah, pembuka surat-surat Al-Qur'an dan doa yang paling sering diucapkan umat Islam sedunia, mengandung dua sifat utama Tuhan: "Maha Pengasih" dan "Maha Penyayang". Kalimat ini menjadi bukti paling tegas bahwa kasih sayang adalah jiwa dari seluruh ajaran Islam.
Kisah pezina yang diampuni karena belas kasihnya ini mengandung banyak pesan. Pertama, anjing adalah hewan yang secara tradisi dianggap najis dalam Islam. Belas kasih terhadap makhluk yang dianggap hina sekali pun ternyata memiliki arti.
Kedua, zina juga adalah dosa yang secara tradisi diganjar hukuman berat, mulai dari cambuk hingga rajam. Namun belas kasih senilai seteguk air dianggap mampu menebus 'dosa' ini. Yang menarik, tidak ditemukan kisah serupa yang melibatkan dosa lain seperti membunuh dan merampok, yang sudah pasti mengabaikan belas kasih.
Kisah ini bukan lah satu-satunya dalam Islam. Banyak kisah lainnya yang memiliki narasi serupa, yang mengindikasikan bahwa belas kasih dibayar dengan yang amat mahal dalam Islam.
Kitab Tsalasatul Ushul (Tiga Landasan Utama) karya Muhammad Abdul Wahab (yang sering dikaitkan dengan Wahabisme, sekte terkeras dalam Islam saat ini) misalnya menceritakan satu kisah di mana seseorang ditolak seluruh ibadahnya, namun diampuni karena menyelamatkan seekor lalat yang tenggelam di gelasnya. Kitab ini bahkan juga mengutip dorongan untuk berbelas kasih kepada orang kafir sekali pun.
"Kasihi lah yang di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu," bunyi lafadz sejumlah hadits yang menjadi dasarnya.
Kitab Tadzkiratul Auliya (Kisah Para Wali) karya Fariduddin Atthar menyitir kisah lain tentang satu-satunya orang yang diterima ibadah hajinya oleh Allah justru karena membatalkan hajinya agar uang bekalnya bisa digunakan untuk menolong tetangganya yang kelaparan.
Kisah semacam ini mungkin akan jarang didengar dan cenderung tidak disukai di kalangan Islam legalistik yang memiliki pendekatan sangat kaku tentang benar dan salah. Aku pribadi mengelompokkan kisah-kisah ini sebagai post-sharia Islam, atau Islam pasca-syariah.
Islam yang tidak lagi berdebat soal percabangan hukum hingga ke tataran remeh seperti batas aurat & jumlah rakaat. Sejenis Islam level berikutnya yang telah melampaui aspek legal formal menuju sesuatu yang lebih esensial. Dan esensi itu bernama belas kasih.
Agaknya tidak mengherankan jika tema ini juga ditemukan di semua agama besar dunia. Mulai dari Yesus yang berdiri membela pezina yang nyaris dihakimi massa, hingga Guan Yin yang dipuja luas di Asia Timur sebagai Dewi Belas Kasih yang mendengar penderitaan dunia.
Mungkin ini yang dimaksud sebagian orang ketika berkata bahwa semua agama itu sama. Mungkin berbeda pada tataran syariat dan legal formal, namun melebur dalam esensi yang sama ketika naik ke jenjang berikutnya. Cita-cita rahmatan lil aalamiin (belas kasih bagi semesta alam). (tn)