
NUSANEWS, JAKARTA - Penolakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak membuka rekaman hasil BAP Miryam BAP atas perintah anggota DPR, bukanlah kejahatan atau pelanggaran UU.
Artinya, permintaan DPR tidak terkait dengan sesuatu hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
"Kecuali kepentingan orang per orang anggota DPR. Kemudian dilembagakan melalui pengajuan hak angket. Walaupun penuh konflik kepentingan karena banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus e-KTP," ujar Ketua Presidium Kejaksaan Watch, Syamsuddin Radjab saat dikonfirmasi, Kamis (15/6).
Menurut Radjab, kedudukan BAP yang memuat keterangan saksi atau terdakwa dalam proses penyidikan, tergolong sangat vital. Karena dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Sesuai Pasal 162, Pasal 184 KUHAP dan Pasal 305 HIR.
Kendati, keterangan dalam BAP pada persidangan dapat saja berbeda. Bahkan berhak dicabut dengan alasan adanya tekanan atau ancaman.
Bagi penyidik KPK, keterangan saksi atau terdakwa dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang merugikan Negara Rp 2,3 Triliun (grand corruption) merupakan hal penting, strategis dan berdampak luas bagi kepentingan masyarakat. Khususnya, dalam memperoleh hak identitas diri sebagai warga Negara.
"BAP, dalam sistem peradilan yang menganut prinsip inquisitor atau non-adversary system seperti Indonesia, bersifat rahasia dan tertutup. Dengan prinsip itu, saat KPK menolak memberikan rekaman dapat dibenarkan, diterima dan dilindungi oleh undang-undang," terang Radjab.
Penyebutan nama anggota DPR dalam pemeriksaan tindak pidana, merupakan hal biasa untuk merangkai suatu peristiwa pidana. Bukan berarti nama yang disebut terlibat dalam kasus yang sedang disidik oleh penegak hukum. Melainkan, bertujuan agar dapat menemukan pelaku.
"Karenanya, anggota DPR tidak perlu marah dan panik dengan melibatkan kelembagaan DPR yang sesungguhnya perbuatan orang per orang," pungkasnya. (rm)