
NUSANEWS, JAKARTA - Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai ada kepentingan tertentu di balik keputusan Setya Novanto mempertahankan posisinya sebagai Ketua DPR RI pasca ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP.
Menurutnya, motif tersebut tak lepas dari kerja-kerja Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke depannya, lantaran dirasa adanya alat kelengkapan dewan (AKD) sementara itu berimplikasi pada proses hukum yang dijalani Setnov saat ini.
"Dalam konteks itu, ketika dia masih sebagai ketua DPR, peluang untuk ikut mendorong pansus angket KPK bisa bergerak terus dan menjadi lebih besar dibanding ketika dia bukan lagi menjadi bagian dari DPR," ujarnya kepada rilis.id di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/7/2017) malam.
Apabila itu yang terjadi, Toto, sapaannya, memprediksi kekhawatiran banyak orang, jika nantinya skandal e-KTP bakal bermuara pada konflik dua lembaga, khususnya KPK dan DPR atau pansus, bakal terjadi.
"Itulah mengapa, kalau Novanto merasa betul-betul merasa tidak bersalah atau warga yang menghormati proses hukum, Novanto ingin menghindari instabilitas politik karena pertarungan dua institusi, harusnya, alangkah baiknya, Novanto mengundurkan diri," sarannya.
Dengan demikian, lanjut Toto, "Pansus angket KPK juga tidak dituduh sedang membela Novanto, KPK juga bisa bekerja dengan lebih leluasa."
Setnov telah ditetapkan sebagai tersangka keempat kasus dugaan korupsi e-KTP dan diumumkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, di Gedung Merah Putih, Senin (17/7/2017) petang.
Ketua DPP Golkar ini diduga melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi melalui penyalahgunaan kewenangan sarana dalam jabatannya.
Setnov pun dijerat Pasal 3 atau Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHPidana. Namun, hingga kini dia baru dicekal berpergian keluar negeri untuk enam bulan sejak 10 April 2017 dan belum ditahan KPK.
Merespons keputusan KPK tersebut, DPP Golkar sudah menggelar rapat pleno di kantornya, Jakarta, Selasa (18/7/2017). Ada tujuh rekomendasi yang diputuskan, salah satunya tidak mencari ketua umum baru melalui musyawarah nasional luar biasa (munaslub).
Menurut keterangan Ketua Harian DPP Golkar, Nurdin Halid, pada rapat tersebut, pun tidak disinggung soal pergantian Setnov di DPR, sehingga tiada kader yang mengusulkan nama-nama sebagai penggantinya.
Di sisi lain, semenjak DPR mengesahkan personalia pansus, beberapa pekan lalu, sejumlah pihak memprediksi kalau hal tersebut sarat konflik kepentingan, khususnya menyangkut pengusutan e-KTP oleh KPK.
Pasalnya, sejumlah legislator dari berbagai fraksi yang menjadi anggota pansus kerap disebut-sebut terkait proyek e-KTP yang ditaksir kerugiannya mencapai Rp2,3 triliun, baik berkaitan langsung ataupun tidak, seperti dugaan merintangi proses penyidikan. (rs)